Sabtu, 20 Juni 2015

Engeline-Engeline Lain




Baru menyempatkan diri berkomentar soal kasus kematian Engeline. Jujur, saya enggan mengikuti perkembangan kasusnya, ya selintas saja sih. Bukan apa-apa, saya hanya tidak tega melihat perlakuan keji yang dialami Engeline, hati rasanya ikut teriris dan kadang spontan menangis.

Gadis kecil, terlahir dari kedua orangtua beragama Islam asal Banyuwangi, karena alasan kesulitan ekonomi, sejak usia 3 hari Engeline diadopsi pasangan suami istri WNA - WNI yang non muslim. Oleh orangtua angkat, orangtua kandungnya tak diizinkan menengok sang putri, otomatis kontak Engeline dengan orangtua kandungnya terputus. Di satu sisi Engeline sungguh beruntung, sebab ayah angkatnya sangat menyayanginya, tak tanggung-tanggung sang ayah angkat mewariskan 60% harta peninggalannya untuk Engeline, sedangkan sang ibu angkat dan anak-anak bawaannya harus berbagi 40% sisanya.

Tak disangka, dari 60% harta peninggalan mendiang ayah angkatnya itulah malapetaka bermula, hingga berakhir dengan hilang nyawa. Ibu angkat dan anak-anak bawaannya merasa iri dan berusaha mengambil jatah Engeline, inilah alasan mereka bersekongkol melenyapkan gadis mungil berwajah tirus itu. Lalu terungkap bahwa banyak penyimpangan hukum dalam proses adopsi bayi Engeline pada 8 tahun silam.

Guru dan teman-teman sekelasnya sempat melihat kondisi murung Engeline dan penampilan acak-acakan tanda ia tak terawat, bahkan beberapa mantan PRT ada yang pernah menyaksikan langsung saat Engeline dipukuli oleh ibu angkatnya. Sayangnya, mereka semua tak dapat bertindak banyak demi keselamatan Engeline. 

Kisah Nyata

Saya ingin curhat, saya pernah menjadi saksi dari tindak KDRT. Ceritanya, saat saya masih kuliah dan tinggal di rumah kos. Awalnya, teman sebelah kamar adalah mahasiswi, lama kelamaan kok ibunya ikut ngekos juga, bawa 2 orang cucu, 1 anak perempuan usia 4 tahun (sebut saja Mawar) dan 1 anak laki-laki usia 1 tahun (sebut saja Dave).

Sejak saat itu, sering terdengar suara orang marah-marah, bentak-bentak, dan anak kecil menangis. Awalnya kita (saya dan teman-teman di kosan) cuek, lama kelamaan mulai terganggu. Ributnya tak kenal waktu, pagi saat bersiap beraktifitas, di akhir sore ketika sedang khusyu' sholat maghrib, sampai tengah malam waktunya orang tidur. Saya cukup terganggu karena kamar saya bersebelahan dengan kamar mereka, suara-suara ribut mampir ke telinga saya hampir 3 kali sehari seperti orang minum obat. Cukup menyiksa di telinga, si nenek teriak "Dasar anak bandel!, kaya' ibumu. Saya pukulin kamu sampai mampus!", si Mawar jerit-jerit "Ampun!, sakit!".

Itu baru suaranya saja. Hampir setiap hari juga, Mawar, yang sudah sekolah TK, sepulang sekolah telantar di ruang tamu rumah kos. Kamar kosnya terkunci karena sang nenek pergi berjualan, Dave selalu diajak, sore baru kembali. Dibekali uang Rp. 10.000 untuk makan siang sendiri di warteg. Beberapa anak kos kadang bergantian mengasuhnya, misalnya membolehkan Mawar tidur siang di kamar, atau membolehkan Mawar numpang pipis di kamar mandi, pernah loh Mawar terpaksa pipis di got gara-gara kebelet tapi kamarnya dikunci sama neneknya yang lagi jualan. Beberapa orang di antara kita ada yang menemukan biru-biru di tubuh Mawar. Waktu itu teman saya langsung tanya ke Mawar "Kenapa pipi kamu?" dan dengan polosnya Mawar jawab "Pipiku dipukul nenek semalem, gara-gara aku ngompol".

Oh ya!, kamar mereka bertipe paviliun, terpisah dari rumah induk, ada garasi dan pagar sendiri. Ini yang membuat kita tambah segan melerai keributan, walaupun kadang si nenek tidak sungkan memaki cucu-cucunya saat anak-anak kos sedang berdiri di halaman tepat di depan pagar paviliunnya. Tetap saja kita rikuh kalau menerobos pagar orang lain.

Apa tindakan saya dan teman-teman lainnya?. Kita sudah melapor ke BBH (Biro Bantuan Hukum) terdekat, orang BBH pun sudah sempat datang ke kosan. Saat orang BBH bicara dengan Bapak Kos, eh Bapak Kos malah marah-marah. Menyudutkan kita, khususnya saya yang punya ide untuk lapor ke BBH. Bapak Kos bilang kita ini mahasiswa yang kurang kerjaan makanya ngurusin urusan rumah tangga orang. Si nenek memang terkenal galak, dugaan kita Bapak Kos takut dengan si nenek, makanya enggan dilibatkan dan melarang kita melapor ke BBH.

"Asal tau ya, Pak!. Di kosan ini ada yang sering berantem sama cowoknya di dalam kamar, cowoknya teriak-teriak dan dia nangis-nangis, berisiknya kedengeran sampai ke luar, tapi saya gak pernah lapor, gak pernah protes. Itu karena mereka sama-sama orang dewasa, kalau yang satu orang dewasa dan yang lain anak kecil kan itu gak seimbang, pasti anak-anak kecil itu kalah". Itu jawaban saya atas pendapat sinis Bapak Kos, tapi tetap saja kita dan orang BBH akhirnya bubar jalan. Tidak ada follow up dan tindakan apapun untuk mencegah KDRT ini, keributan, pemukulan, dan tangisan tetap terjadi setiap hari.

Sampai suatu hari, entah kenapa si nenek curhat ke anak-anak kos, tentang masalah keluarganya. Kita melihatnya seperti si nenek sedang press conference. Anak perempuan si nenek, ibu dari Mawar dan Dave, menikah dengan laki-laki yang tidak disetujui keluarga, mereka bercerai setelah punya 2 anak. Karena ibu Mawar dan Dave harus kerja, anak-anaknya dititipkan ke si nenek yang hanya tinggal di sepetak kamar kos mahasiswa, menggantikan anak keduanya yang dulu kos di kamar itu dan sudah lulus kuliah. Begitu cerita si nenek.

Saya sempat kasih saran ke si nenek, saya tidak berani menasehatinya karena beliau jauh lebih tua dari saya. "Anak-anak ini gak pernah minta dilahirkan, kalaupun bisa meminta, mereka gak mau lahir dalam kondisi begini. Kalau kesal sama anak dan mantan menantu, jangan dilampiaskan ke cucu, mereka gak ngerti apa-apa".

Pasca si nenek curhat, kondisi tidak lebih membaik. Kurang lebih tetap sama. Sikap Bapak Kos juga makin aneh, dia sering melarang Mawar main ke kamar kita, padahal biasanya Mawar sering numpang pipis atau tidur siang, alasannya nanti mengganggu anak-anak kos. Dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa kita lakukan hanya sebatas memberi tumpangan tidur siang dan pipis bagi Mawar, kadang jika kita delivery order makan siang, biasanya Mawar kita belikan juga seporsi, kita ajak makan bareng. Sampai dengan saya kembali ke Jakarta, karena lulus dan dapat kerja di sana, kondisi terakhir masih tetap sama.



Kita Peduli?

Jadi, apakah kita sudah cukup peduli pada tindak KDRT?. Saat kasus Engeline ramai, nasib Mawar dan Dave terbayang kembali di ingatan saya. Sedikit rasa sesal menelusup, kepedulian saya kurang maksimal, keberanian saya tidak total.

Jika pemerintah berencana merevisi UU Perlindungan Anak (atau UU PKDRT juga, suatu saat nanti), alangkah baiknya memaksimalkan upaya penyadaran masyarakat terhadap tindak KDRT, apa langkah yang harus mereka ambil jika menyaksikan atau bahkan menjadi korban KDRT, bagaimana jika tindakan positif mereka justru tidak didukung seperti tindakan saya dan teman-teman yang menuai cela dari Bapak Kos.

Semoga Engeline yang terkubur di halaman rumahnya di Bali itu adalah korban terakhir, begitu harapan hampir semua orang. Berharap saja tidaklah cukup untuk menjadikan Engeline sebagai korban terakhir tindak kekerasan terhadap anak, sangat dibutuhkan kepedulian dan keberanian bertindak. Masih banyak Engeline-Engeline lain di negeri ini yang butuh pertolongan, masih banyak pula dari kita yang belum berani bertindak maksimal dalam memberikan pertolongan.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

2 komentar:

  1. baru baru ini pernyataan om dedi sepertinya mewakili keresahan semua masyarakat yang menyayangi anaknya
    apakah anak tiri harus selalu ditindas aku juga gak ngerti ya kak soal perkara seperti ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada juga kok anak tiri atau anak angkat yang beruntung karena disayang, dianggap anak kandung.
      Apapun statusnya, anak kandung, anak tiri, anak angkat, semua anak layak dapat pengasuhan dan perlakuan yang baik.

      Hapus