Selasa, 14 April 2015

Sustainable Popularity of Talent Show Product

Sustainable Popularity of Talent Show Product, postingan kali ini berbahasa Inggris, tapi judulnya doang, isinya tetap berbahasa Indonesia. Hehehehe. Kalau judulnya Kelangsungan Ketenaran Produk Talent Show, khawatir terkesan terlalu berat, padahal isi postingan ini disetting seringan mungkin biar gampang dipahami.

Baru-baru ini saya jadi lumayan akrab sama musik dangdut, gara-gara talent show D'Academy 2 yang tayang di Indosiar. D'Academy 2 bukan satu-satunya talent show yang saya tonton, talent show pertama yang saya tonton adalah AFI (Akademi Fantasi Indosiar) tahun 2003-2004, selanjutnya banyak talent show lainnya yang saya tonton meski cuma sekilas. Bagi saya, selain seru, nonton talent show itu banyak untungnya.

Ujung yang pasti dari sebuah talent show adalah lahirnya idola-idola baru. Sengaja saya menulis ini untuk idola-idola baru nan belia. Semoga mereka menjadi idola-idola sejati yang kualitasnya makin meninggi tapi tetap nyaman jadi diri sendiri dan rendah hati.

Albi, Rizki Ridho, dan Pergeseran Segmen


Saya bukan penggemar musik dangdut tapi malah jadi gandrung sama D'Academy 2. Mungkin 2 hal inilah alasan utamanya. Pertama, saya jenuh dengan hingar bingar musik asing yang menyerbu tanah air. Dangdut is the music of my country, tak peduli diledek "kok tontonannya sama dengan acara favorit PRT", toh musik berirama Melayu itu gak jelek-jelek amat kok!. Kedua, tak sengaja melihat dan langsung terpikat pesona Albi serta Si Kembar Rizki Ridho. Sepertinya alasan kedua inilah yang bikin saya mantengin D'Academy 2.

Albi dan Rizki Ridho sama-sama dari Sumatera Utara. Albi mewakili Kabupaten Batu Bara sedangkan Rizki Ridho mewakili Medan. Walaupun Rizki Ridho punya keunikan yang tidak dimiliki peserta-peserta lain, formasi suara yang tiada tanding, plus wajah imut sebagai magnet berdaya tarik dahsyat dan berhasil menyedot perhatian ribuan ABG menjadi fans mereka, pada akhirnya saya lebih mengidolakan Albi. Teknik bernyanyi Albi lebih jitu, selalu ada kejutan di setiap aksi panggungnya yang memukau, dari awal penampilan sudah nampak aura bintangnya, biarpun baru belakangan saya mengetahui bahwa Albi rupanya sudah merintis karir bermusik Melayu sebagai artis lokal di Batu Bara. Setelah Albi tersenggol, saya stop mantengin D'Academy 2, nontonnya jadi selintas saja.


Jujur, awalnya saya agak kecewa dengan Indosiar yang tetap mempertahankan Rizki Ridho setelah tersenggol, walaupun statusnya di panggung bukan lagi sebagai peserta tapi hanya penghibur. Nampak gak adil banget, sustainable popularity Rizki Ridho terjamin, tapi bagaimana dengan peserta lainnya yang langsung pulang setelah tersenggol?. Berbagai bisik-bisik "mempertahankan Rizki Ridho = mempertahankan rating acara" nyaring bergaung di media sosial, bahkan menjelma menjadi bullying. Tapi dari sinilah kita bisa belajar bahwa keunikan punya nilai plus, so bener banget omongan Harry Roesli (alm) : "Jangan takut tampil beda, beda itu bernilai tambah, bernilai lebih".

Keunikan sebagai penyanyi kembar memudahkan Rizki Ridho untuk selalu bernyanyi dengan suara 1 & suara 2, lagu yang mereka nyanyikan jadi lebih enak didengar, gerakan yang mereka tarikan berdua pun kompak, otomatis jadi lebih indah dilihat. Terlepas dari wajah yang imut-imut (kata fans ABG), menurut saya faktor itulah yang membuat Rizki Ridho nampak lebih menarik, lebih bersinar, lebih mudah dikenali di antara peserta-peserta lain. Faktor itulah yang membuat saya (yang bukan penggemar musik dangdut) terpikat pesona Rizki Ridho, lalu akhir-akhir ini mulai akrab dan menyukai musik dangdut.

Berapa Lama Ketenaran Mereka?

Dulu, talent show dicap sebagai acara penghasil artis dadakan, tapi seiring waktu sepertinya cap itu mulai meluntur. Sekarang, penonton dengan mudah mengetahui bahwa ada peserta-peserta yang sudah memulai karirnya sebelum mengadu nasib di talent show. Masalahnya, dadakan itu bukan cuma tiba-tiba muncul di TV, tapi juga baru sebentar di TV kok tiba-tiba sudah menghilang. Berhubung saya dulu penggemar AFI, kadang saya sering bertanya-tanya : "Apa kabar ya mereka sekarang?, pada kemana aja?". Dari tulisan seorang kaskuser, saya menemukan secercah jejak kabar para akademia AFI. Rata-rata mereka tetap berkarir di bidang musik dengan level ketenaran yang berbeda. Ada yang tenar banget, tenar aja, dan tenar samar-samar. Hampir setengahnya masuk di level tenar samar-samar.

Tak dipungkiri, kontes berlanjut dengan cepat, dalam waktu singkat sudah muncul lagi idola-idola baru jebolan kontes berikutnya, otomatis menjadi kompetitor bagi mereka yang baru saja mengecap ketenaran. Seberapa lama ketenaran akan bertahan?, tenar di level yang mana?, pertanyaan-pertanyaan itu pada akhirnya hanya bisa dijawab oleh mereka sendiri.

Dear Albi, saya bukan penggemar musik dangdut, tapi saya terlanjur ngefans sama kamu. Saya ikut mengirim dukungan SMS, saya bahkan tidak beranjak dari depan TV karena terpaku dan terpukau setiap penampilanmu di atas panggung D'Academy 2, sebab selalu ada kejutan di setiap penampilanmu, selain teknik menyanyimu yang OK punya tentunya.

Dear Albi, saya hanya seorang dari ribuan penggemarmu yang ada di seluruh Indonesia. Saya berharap agar Albi terus berkarya dan selalu ada kejutan di setiap karya-karyamu. Kalau saya tidak salah, Albi kuliah di program studi Etnomusikologi USU (Universitas Sumatera Utara). Kalau saya tidak salah, program studi Etnomusikologi USU merupakan yang pertama di Indonesia. Etnomusikologi merupakan cabang dari musikologi, yaitu ilmu yang mempelajari aspek sosial dan budaya terhadap musik dan tarian dalam konteks lokal dan global.

Saya membayangkan betapa kerennya Albi, berwawasan sangat baik soal musik hasil dari pendidikan formalnya di USU dan berjam terbang banyak hasil dari pengalaman pentasnya, anggaplah pengalaman pentas itu sebagai pendidikan informal. Besar kemungkinan akan selalu ada surprises yang memukau di setiap karya-karyanya. Besar pula kemungkinan untuk mampu bersaing di blantika musik Indonesia.

Dear Albi, teruslah berkilau dalam karya agar saya punya alasan yang tepat untuk selalu mengidolakanmu, di panggung manapun kamu berada. Your sustainable popularity is in your hands!.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

Kamis, 02 April 2015

Medsos Peninggalan

Di waktu senggang, buka-buka Facebook, gak sengaja baca comment di salah satu foto yang pernah saya upload, comment dari Pakde saya yang baru wafat hari Jum'at, 27 Maret 2015, minggu lalu. Sedih dan kangen langsung menyergap, saya dan Pakde memang sering berkomunikasi via Facebook. Iseng-iseng saya lihat-lihat Facebook Pakde, mengenang obrolan-obrolan kami, membaca puluhan ucapan duka cita yang ditulis teman-teman beliau di wall, bernostalgia melalui foto-foto Pakde bersama keluarga besar, teman-teman, dan cucu tersayangnya. Pakde memang gaul, gak ketinggalan bermedsos ria walaupun gak seaktif (senarsis lebih tepatnya) kita-kita yang masih berusia muda.
 
Lantas saya teringat kejadian di Twitter baru-baru ini, terkait dengan wafatnya artis dan komedian Olga Syahputra, hashtag #RIPOlgaSyahputra membanjiri tweetland. Lalu, seorang public figure yang hobi berkicau kacau, siapa lagi kalau bukan pengacara Farhat Abbas, menulis ucapan duka cita plus ucapan-ucapan 'khas'nya. Alhasil, kicau kacaunya diganjar dengan hashtag #RIPFarhatAbbas oleh netizen, gak tanggung-tanggung!, malah sampai jadi trending topic. Amit-amit!, orangnya masih hidup kok sudah disumpahin mati sama banyak orang.
 
Medsos = Peninggalan
 
Izinkan saya ikut bersuara menanggapi kejadian ini, Insya Alloh tanggapan saya ini positif dan memang tanpa niat ikut memperkeruh suasana.
 
Dipikir-pikir, media sosial bisa jadi salah satu peninggalan. Ibarat orang meninggal yang biasanya mewariskan uang, rumah, tanah, (atau malah) hutang, jaman sekarang ini media sosial juga bisa jadi salah satu warisan.
 
Saat seseorang wafat, akun Facebook-nya, Twitter-nya, blog-nya, LinkedIn-nya, YouTube-nya masih menyimpan rapih rekaman-rekaman postingan, kicauan, uploadan, foto-foto, dan lain sebagainya. Semua itu masih terdisplay dan masih dapat dilihat oleh orang lain.
 
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan jejak, salah satunya adalah media sosial. Kalau media sosial kita penuh umpatan, bertebaran video-video memalukan atau foto-foto yang tidak layak dipandang, bisa dibayangkan bagaimana jejak yang kita tinggalkan, jejak yang akan menjadi kenangan tentang diri kita.
 
So, saya paham dan yakin bahwa siapapun yang membaca postingan ini pasti sudah mengerti cara bermedsos yang bijak dan bajik. Toh tulisan ini gak bertujuan untuk mengajarkan, apalagi menggurui, gunakanlah media sosial Anda dengan bijak bla...blaa...blaaa....
 
Sekedar curhat, sejak 1 tahun belakangan, sedikit demi sedikit saya menggeser fungsi media sosial saya dari wadah narsis (istilah kerennya image building) menjadi wadah berbagi kebaikan. Semoga media sosial juga bisa kita manfaatkan sebagai ladang amal. 

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

Rabu, 01 April 2015

Makam Indah, Untuk Siapa?

Jum'at, 27 Maret 2015, saya dan keluarga tersentak oleh kabar duka dari Bandung. Di hari yang sama dengan hari wafatnya artis dan komedian Olga Syahputra, Pakde Wiwik Widagdo kembali ke haribaan Alloh S.W.T di RS Borromeus setelah berjuang melawan kanker dan sempat menjalani perawatan intensif di RS Holistic Purwakarta.

Almarhum Pakde anak ke-4 dari 10 bersaudara, beliau merupakan orang kedua yang mendahului ke-8 saudara-saudarinya yang masih tersisa. Beberapa tahun sebelumnya, Pakde Mus, kakak tertua, meninggal mendadak tanpa pernah menderita penyakit berat.

Di mata keluarga besar, Pakde adalah sosok yang baik dan suka menolong sesama, terutama saudara. Beliau sering menjadi sponsor utama untuk acara family gathering tiap tahun. Terakhir kali saya menjenguk Pakde saat beliau dirawat di RS Borromeus, sebelum dipindah ke RS Holistic. Waktu itu kondisinya sudah mulai melemah, badannya makin kurus dan tidak mau makan, tapi masih bisa ngobrol-ngobrol, masih bisa bercanda. Bapak, ibu, dan adik bungsu saya sempat menjenguk ke RS Holistic, sayang beribu sayang, hingga Pakde dipindah ke RS Borromeus lagi karena beliau ingin kembali ke Bandung, saya tidak sempat bertemu lagi dengan Pakde. Sabtu, 28 Maret 2015, kami sekeluarga besar mengantar Pakde ke peristirahatan terakhirnya di Firdaus Memorial Park.

Firdaus Memorial Park

Firdaus Memorial Park, taman wakaf pemakaman muslim, di tengah hamparan hijaunya perkebunan teh nan damai, Perkebunan Panglejar Bagian Maswati PTPN VIII Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat. Sesuai dengan konsepnya (Asri, Nyaman, Ramah Lingkungan, Sesuai Syari'ah) maka kuburan ini tampak indah layaknya taman, jauh dari kesan menyeramkan. Para pelayat yang datang berfoto-foto serasa berkunjung ke taman bunga saja, sebab kuburan ini memang jauh dari kesan seram. Para penggali kubur melakukan tugasnya dengan cekatan dan sesuai ketentuan dalam agama Islam, seorang ustad membimbing para pelayat berdo'a memohonkan ampunan bagi almarhum.

Makam ini nyaris serupa dengan Al-Azhar Memorial Garden yang juga mengutamakan kesesuaian syari'ah di samping keindahan fisik makam. Ada hal yang menjadi pembeda Firdaus Memorial Park yaitu paket donasi wakaf. Jadi, dengan membayar Rp. 10 juta, berhak atas 2 kavling kuburan ukuran 2x1 meter plus kavling kuburan untuk kaum dhuafa, ide terpuji yang digagas dan dikelola oleh WakafPro 99 ini lahir dari kasus orang-orang tak berpunya yang terbebani biaya pemakaman.

Makam Indah, Untuk Siapa?


Setiap peristiwa kematian, selain meninggalkan duka dan rasa kehilangan, hendaknya juga menjadi nasehat bagi diri sendiri. Bergidik saya, berdiri bulu kuduk saya, meleleh air mata saya, menyaksikan prosesi pemakaman, membayangkan bahwa suatu hari nanti, entah kapan tapi pasti, setiap orang akan dimasukkan ke liang kubur, berbaring sendiri di sana sambil mempertanggungjawabkan setiap perbuatan semasa hidup di dunia.

Tanpa bermaksud sombong, Pakde saya orang berpangkat dan terhormat, dijadikan teladan oleh para bawahan, beliau salah seorang pendiri Telkomsel, jargon SIM card prabayar "Di sini halo, di sana halo, asal pakai Kartu Halo" yang tenar di tahun 1995 merupakan hasil kreatifitasnya. Jika waktu telah tiba, tak peduli siapa dan berpangkat apa, semuanya kembali ke tempat yang sama dari mana kita berasal.

Keluarga yang menangis kehilangan, sahabat-sahabat yang mengantar ke tepi liang lahat, harta benda yang kita punya, semua ditinggalkan dan tidak ada yang menemani sampai ke dalam kubur. Apa yang kita bawa?, hanya amal ibadah. Apa yang menemani?, do'a-do'a tulus, biasanya datang dari orang-orang terkasih.

Makam yang mewah, indah, asri, jauh dari kesan menyeramkan, itu dinikmati oleh mereka yang menguburkan, sementara bagi yang dikuburkan, hanya ruang seukuran 2x1 meter yang sempit, sunyi, dan gelap. Sebelum waktunya tiba, masih banyak kesempatan untuk kita bersiap diri, membawa bekal untuk perjalanan panjang, perpindahan dari alam dunia menuju alam kubur, menerangi, menghias, serta memperluas rumah masa depan kita, rumah terakhir, persinggahan menuju keabadian.
 

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf