Minggu, 27 Juli 2014

Lebaran dan Sebongkah Penyesalan

Meski hanya sedetik, tiada dayaku menghentikan laju sang waktu. Kulihat Ramadhan segera berlalu, berganti Syawal di hari yang baru.
 
Ramadhan, bulan istimewa, kusambut dengan suka cita, kuantar perginya dengan air mata.
Ramadhan, bulan penuh ampunan, bulan turunnya Al-Qur'an, saat hamparan rahmat dibentangkan, dan do'a-do'a terkabulkan.
 
Ampuni aku, ya Alloh!. Apalah pencapaianku di Ramadhan tahun ini?. Tak lebih baik dari Ramadhan sebelumnya. Mungkin hanya sebatas berkurangnya berat badan.
 
Di 10 hari awal Ramadhan, luapan kegembiraan datangnya bulan suci memenuhi hati, namun fokusku pada tugas-tugas kantor yang tiada henti. Di 10 hari tengah Ramadhan, tak kusadari kapankah Nuzulul Qur'an, 17 Ramadhan berlalu tanpa peringatan, aku masih tenggelam dalam himpitan tugas-tugas kantor. Di 10 hari akhir Ramadhan, jangankan i'tikaf, tarawih makin sering terlewat. Lalu lintas yang kian padat membuatku membuang lebih banyak waktu berdesakan di dalam bis Transjakarta. Akhir pekanku kian sibuk dengan berbagai tuntutan, mulai dari deadline pekerjaan yang harus rampung sebelum cuti hingga permintaan membantu ibu membuat kue Lebaran dan berbenah rumah karena PRT sudah mudik ke kampung halaman.
 
Kini, gema takbir sayup-sayup terdengar, hasil sidang itsbat sudah diumumkan, besok Lebaran. Dalam suka cita sambut kemenangan, melintaslah tanya, pantaskah aku disebut pemenang?, layakkah aku larut dalam kegembiraan?. Terseliplah sebait do'a dalam balutan tekad kuat, semoga Alloh sudi berikan kesempatan untukku jumpa Ramadhan tahun depan, semoga aku mampu melapangkan lebih banyak waktu untuk bermesraan dengan Ramadhan di tahun mendatang.
 
Selamat Idul Fitri. Taqobbalallohu minna wa minkum, minal 'aidin wal faidzin. Semoga Alloh terima ibadah kita selama bulan Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

Rabu, 16 Juli 2014

Yang Papa Di Antara Kaya Raya

Perjalanan menuju ke kantor di pagi hari dan kembali ke rumah di sore hari tak pernah tanpa berjibaku dengan kemacetan. Ribuan kendaraan tumpah ruah ke jalan, orang-orang yang sudah paham situasi ini mencoba berdamai dengan keadaan, meski stress mereka tak tertutupi. Di situasi tertentu, misalnya hujan yang biasanya diikuti dengan genangan air di jalan, kemacetan bisa makin menggila.

Saya menyiasati kemacetan dengan nebeng motor teman setiap pagi, saat pulang di sore atau malam hari barulah naik Transjakarta. Selain menyiasati kemacetan, cara ini cukup ampuh mengusir bosan. Teman saya biasanya menempuh jalur alternatif, bukan jalur yang biasa dilewati Transjakarta, jadi saya bisa melihat pemandangan yang berbeda.

Jalan yang biasa kami lewati adalah Jalan Kartika Utama, Pondok Indah. Deretan rumah mewah lengkap dengan beberapa buah mobil berjajar di garasi dan beberapa orang satpam berjaga. Sambil melintas, kadang saya bergumam, entah butuh berapa banyak PRT untuk mengurus rumah sebesar ini, belum termasuk tukang kebun dan supir. Sering terucap do'a di dalam hati, semoga saya punya uang yang sangat banyak agar kelak bisa membangun rumah 10x lebih besar dan lebih mewah dari rumah-rumah yang setiap pagi saya lintasi ini. Sebab rumah besar yang saya tempati sekarang bukanlah milik saya, tapi milik orangtua, hehehe....

Nek Sairah dan Kek Anani

Ada sebuah pemandangan yang selalu menarik perhatian dan mengusik nurani saya. Pemandangan yang kontras dengan deretan rumah-rumah mewah. Sepasang kakek nenek renta, mendorong gerobak berwarna hijau, menjajakan papan cucian. Entah siapa yang mau membeli papan cucian, rumah-rumah sebesar ini pasti dilengkapi mesin cuci. Sehari, seminggu, sebulan...akhirnya saya benar-benar terusik. Saya turun dari motor, menghampiri dan membuka obrolan dengan mereka.

Sejak saat itu, saya mengenal Kek Anani dan Nek Sairah. Sejak saat itu juga, kalau sedang tidak terburu-buru akibat kesiangan, saya sempatkan turun dari motor untuk menyapa dan memberikan selembar Rp.10.000 untuk keduanya. Dari obrolan super singkat rutin itulah saya mengetahui bahwa mereka perantau dari Pemalang yang gagal mengecap indahnya ibukota, mereka berdua tinggal di bedeng tidak jauh dari tempat gerobak mereka mangkal, sementara anak-anak mereka masih tertinggal di Pemalang dalam hidup yang susah.

Di antara rumah-rumah besar nan mewah, sepasang kakek nenek setiap pagi mengais rejeki dengan berjualan papan cucian. Hidup mereka serba kekurangan.

Kek Anani terserang stroke, sekitar 2 tahun lalu, akibatnya pendengaran dan penglihatannya terganggu. Itulah alasan mengapa Nek Sairah tidak berjualan di pasar. Kek Anani tidak kuat lagi berjalan agak jauh, tidak mungkin ditinggal sendiri di bedeng tanpa ada yang menjaga. Memang setiap hari Nek Sairahlah yang mendorong gerobak, sedangkan Kek Anani berjalan terseok-seok dan terbungkuk-bungkuk mengikuti dari belakang.

Banyak hal yang sudah tidak diingat Nek Sairah, misalnya berapa usia mereka berdua dan kapan tepatnya mereka datang ke Jakarta. Hal yang jelas diingatnya adalah harga papan cucian yang dijajakannya, Rp. 80.000, dan Rp. 5.000 miliknya dari setiap papan cucian yang laku terjual, selebihnya harus disetor kembali ke produsen papan cucian. Meski tak menolak jika diberi uang, tapi Nek Sairah dan Kek Anani enggan menengadahkan tangan, enggan meminta-minta.

Sejak stroke, sekitar 2 tahun yang lalu, Kek Anani mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran. Tubuhnya melemah, tak kuat lagi berjalan jauh. Saat menjajakan papan cucian, sering ia terlihat sempoyongan.

Selama ini, mereka belum pernah terjamah oleh program-program bantuan apapun dari pemerintah yang ditujukan untuk orang miskin. Ketika saya tanya, apa yang paling dibutuhkannya?. Nek Sairah bilang mereka sangat butuh uang untuk pengobatan Kek Anani. Sejak terkena stroke, Kek Anani tak pernah menjalani pengobatan khusus untuk penderita stroke, kalaupun berobat paling hanya ke puskesmas. Dokter menganjurkan Kek Anani makan makanan sehat dan bergizi, minum susu, serta minum obat secara teratur, tapi kenyataan mengharuskan Kek Anani makan seadanya saja tanpa minum susu, apalagi obat.

***

Pernah suatu kali saya foto Kek Anani dan Nek Sairah, lalu fotonya saya posting di Facebook. Seorang teman yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis buku, Mbak Eni namanya, tergerak hatinya untuk membantu. Kebetulan almarhumah ibunda Mbak Eni dulu pernah menderita stroke, itulah yang menggerakkannya merintis Rumah Stroke Indonesia.

Melalui Rumah Stroke Indonesia, kita yang peduli bisa menyalurkan bantuan untuk para penderita stroke di seluruh tanah air. Di bulan Ramadhan ini ada program parcel untuk penderita stroke yang tidak mampu, isinya berupa berbagai kebutuhan penderita stroke, mulai dari pampers dewasa, susu, gula dan kue kering rendah kalori, beras merah, hingga kursi roda. Untuk informasi pengiriman bantuan, silakan hubungi Mbak Eni via enisetiati_penulis@yahoo.co.id.

Semoga curhat ringan saya ini berdampak besar bagi Kek Anani dan Nek Sairah. Terakhir menyapa mereka, sekitar 2 hari yang lalu, mata Nek Sairah sayu menatap sambil berkata bahwa mereka tidak pernah mudik, tidak juga menyantap ketupat dan opor ayam, tidak ada uang, di hari Lebaran pun tetap menjajakan papan cucian.

Kek Anani dan Nek Sairah, menjajakan papan cucian setiap pagi.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

Senin, 14 Juli 2014

Cita-Cita kok Setinggi Tanah???

Sering dengar kata-kata "gantungkan cita-citamu setinggi langit"?, atau waktu kecil dulu sering dinasihati seperti ini oleh orang tua, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit ya, Nak!". Pasti sering, ya minimal pernah walaupun mungkin baru 1 kali seumur hidup. "Gantungkan cita-citamu setinggi langit" itu ucapan Bung Karno. Di masa kini, dengan teknologi yang makin canggih dan sumber daya manusia yang makin cerdas serta kreatif, cita-cita yang digantung setinggi langit itu menjadi bukan hal mustahil untuk digapai. Kalau dipikir-pikir, tinggal naik pesawat terbang saja maka kita sudah setinggi langit. Jangankan setinggi langit, pergi ke bulan saja bukan hal mustahil.

Berarti "gantungkan cita-citamu setinggi langit" sudah familiar dan tidak mengherankan lagi. Bagaimana kalau cita-citanya setinggi tanah?. Sebetulnya itu judul film, "Cita-Citaku Setinggi Tanah", disutradari dan diproduseri oleh Eugene Panji, berhasil terpilih menjadi 5 besar di Berlin International Film Festival 2013, mengalahkan 1500 film lainnya yang ikut berpartisipasi dalam ajang tersebut.

Project Pertama KAF Project

Untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, saya mencoba membuat sebuah gerakan yang saya beri nama KAF Project, tujuannya mengajak berbagi kebaikan agar diri lebih bermanfaat dan bernilai lebih untuk sesama, minimal lingkungan terdekat. Tidak muluk-muluk, berbagi kebaikan itu bisa dimulai dari hal paling sederhana atau paling mudah dilakukan, misalnya sharing info lowongan kerja via BBM.

KAF Project didirikan pada 28 Januari 2013, tapi baru pada Januari 2014 saya tergerak untuk melakukan sebuah project berbagi yang lebih jelas dan terarah. Jadilah nonton bareng anak yatim di panti asuhan Al-Muhajirin Pondok Cabe sebagai the first project, terselenggara 20 Juni 2014 silam. Seorang teman yang baik hati, Frieda Fania, bersedia membantu, semoga dia juga bersedia bergabung di KAF Project biar saya gak walk alone, hehehe....

Ide nobar muncul ketika saya dapat info tentang sebuah komunitas, Beling alias Bioskop Edukasi Keliling. Sebuah komunitas yang kerjanya keliling-keliling ke berbagai daerah, dari yang mudah dijangkau hingga ke pelosok nusantara, untuk memutarkan film secara gratis kepada anak-anak penduduk setempat. Tim Beling tak pernah datang dengan tangan hampa, selain membawa film yang mendidik, mereka juga memberikan pertanyaan seputar film yang ditonton kemudian membagi-bagikan hadiah.


Akhirnya saya gandeng tim Beling dalam project pertama ini, project yang kami beri tajuk Sharing Edukasi Bareng Bioskop Edukasi Keliling (SEBAR BELING), film yang akan diputar adalah Cita-Citaku Setinggi Tanah. Tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mengundang Beling, bahkan biaya transportasi yang awalnya akan saya tanggung pun mereka sarankan untuk disalurkan saja ke anak-anak di panti Eeeits jangan salah!, walaupun priceless tapi kualitas layanan mereka sangat memuaskan. Kata-kata "gratis gak boleh protes, kalo gak enak terima aja" tidak berlaku bagi mereka.

Cita-Cita kok Setinggi Tanah?


Film Cita-Citaku Setinggi Tanah mengisahkan 4 orang siswa SD yang berasal dari keluarga sederhana di Muntilan, Jawa Tengah. Agus, Puji, Jono, dan Mey dengan cita-cita mereka. Mey bercita-cita menjadi artis terkenal, dia sering berlatih acting, ibunya sangat mendukung dengan menitipkan foto-foto putrinya ke kerabat mereka yang bekerja sebagai asisten artis di Jakarta sambil berharap putrinya diajak casting dan kelak bisa menjadi artis ternama. Jono bercita-cita menjadi prajurit, Jono selalu bermain perang-perangan, bakat leadershipnya tersalurkan dengan selalu menjadi ketua kelas. Puji, cita-citanya sederhana, ingin membantu dan membahagiakan orang lain. Dan Agus, yang paling menjadi sorotan karena cita-citanya dianggap tidak biasa, cita-citanya ingin makan di restoran Padang.

Di akhir film terungkap alasan Agus bercita-cita makan di restoran Padang. Menurutnya, yang tiada hari tanpa makan tahu karena ayahnya bekerja di pabrik tahu, makan di restoran Padang merupakan sebuah kemewahan. Selain dari sisi harga, petugas restoran Padang melayani pembeli layaknya seorang raja, makanan berpiring-piring diantar dan ditumpuk di atas meja tepat di hadapan sang pembeli. Tak dapat dipungkiri, masakan di restoran Padang memang lezat menggiurkan. Saat jam istirahat makan siang tiba, saya paling doyan menyantap sepiring nasi putih hangat yang dibanjiri kuah ayam kalio dengan sepotong daging rendang dan sambal hijau plus segelas es teh manis.

Setelah menonton, teman-teman dari panti Al-Muhajirin bertanya-tanya, "Cita-citanya kok setinggi tanah ya?", pertanyaan serupa yang juga muncul di pikiran saya.

Cita-Cita yang SMART

Terkait pertanyaan "Cita-citanya kok setinggi tanah ya?", saya teringat pelajaran yang saya kenal dan hafalkan teorinya ketika SMA dulu tapi baru mulai saya praktikkan saat sudah terjun ke dunia kerja. Jurus ampuh dalam menyusun rencana, jurus SMART : specific, measurable, achievable, realistic, timebound. Melalui film Cita-Citaku Setinngi Tanah, saya kembali belajar tentang jurus SMART.


Menurut saya, cita-cita Agus yang hanya setinggi tanah, yang hanya ingin makan di restoran Padang, dan kedengarannya tidak biasa inilah justru cita-cita yang SMART.

Jika dibandingkan dengan cita-cita Puji yang ingin membantu dan membahagiakan orang lain, cita-cita Agus lebih specific. Oleh karena specific atau jelas, maka cita-cita tersebut menjadi measurable atau dapat diukur. Memang tidak disebutkan berapa uang yang dibutuhkan untuk seporsi nasi Padang impian Agus, tetapi dengan jelas diceritakan bagaimana usaha Agus demi mendapatkan sejumlah uang untuk bisa makan di restoran Padang, mulai dari membuat celengan bambu, menyisihkan uang jajan, hingga bekerja sebagai pengantar ayam, dan betapa rajinnya Agus menghitung tabungannya yang makin hari makin bertambah.

Dari usaha Agus yang gigih dan tabungannya yang makin hari makin bertambah, terlihat bahwa cita-cita makan di restoran Padang sangat achievable dan realistic atau dapat dicapai, dapat menjadi kenyataan. Untuk hal timebound atau batas waktu juga tidak disebutkan namun dugaan saya pastilah jangka waktu pencapaiannya lebih jelas dibanding cita-cita Mey, sebab jika uang sudah terkumpul dan cukup untuk membayar seporsi nasi Padang maka bisa langsung makan di restoran Padang, tercapailah cita-cita Agus, sedangkan Mey masih belum jelas kapan panggilan casting datang padanya.

Intinya, Cita-Cita Ituuu...

Film ini ringan dan bermakna dalam. Intinya, cita-cita bukan untuk ditulis saja, tapi untuk diwujudkan. Silakan bermimpi dan menggantungkan cita-cita, terserah setinggi apa, pastikan jangan tertidur demi mewujudkannya. Juga tak perlu terlalu resah pada kerikil-kerikil yang ditemui saat proses pencapaian cita-cita, sebab rejeki tak pernah pergi, hanya menunggu waktu untuk kembali. Itu bukan kata saya, itu kata Mbah Tapak, sosok yang muncul selintas saja tapi selalu meninggalkan quotes renyah.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf