Rabu, 16 Juli 2014

Yang Papa Di Antara Kaya Raya

Perjalanan menuju ke kantor di pagi hari dan kembali ke rumah di sore hari tak pernah tanpa berjibaku dengan kemacetan. Ribuan kendaraan tumpah ruah ke jalan, orang-orang yang sudah paham situasi ini mencoba berdamai dengan keadaan, meski stress mereka tak tertutupi. Di situasi tertentu, misalnya hujan yang biasanya diikuti dengan genangan air di jalan, kemacetan bisa makin menggila.

Saya menyiasati kemacetan dengan nebeng motor teman setiap pagi, saat pulang di sore atau malam hari barulah naik Transjakarta. Selain menyiasati kemacetan, cara ini cukup ampuh mengusir bosan. Teman saya biasanya menempuh jalur alternatif, bukan jalur yang biasa dilewati Transjakarta, jadi saya bisa melihat pemandangan yang berbeda.

Jalan yang biasa kami lewati adalah Jalan Kartika Utama, Pondok Indah. Deretan rumah mewah lengkap dengan beberapa buah mobil berjajar di garasi dan beberapa orang satpam berjaga. Sambil melintas, kadang saya bergumam, entah butuh berapa banyak PRT untuk mengurus rumah sebesar ini, belum termasuk tukang kebun dan supir. Sering terucap do'a di dalam hati, semoga saya punya uang yang sangat banyak agar kelak bisa membangun rumah 10x lebih besar dan lebih mewah dari rumah-rumah yang setiap pagi saya lintasi ini. Sebab rumah besar yang saya tempati sekarang bukanlah milik saya, tapi milik orangtua, hehehe....

Nek Sairah dan Kek Anani

Ada sebuah pemandangan yang selalu menarik perhatian dan mengusik nurani saya. Pemandangan yang kontras dengan deretan rumah-rumah mewah. Sepasang kakek nenek renta, mendorong gerobak berwarna hijau, menjajakan papan cucian. Entah siapa yang mau membeli papan cucian, rumah-rumah sebesar ini pasti dilengkapi mesin cuci. Sehari, seminggu, sebulan...akhirnya saya benar-benar terusik. Saya turun dari motor, menghampiri dan membuka obrolan dengan mereka.

Sejak saat itu, saya mengenal Kek Anani dan Nek Sairah. Sejak saat itu juga, kalau sedang tidak terburu-buru akibat kesiangan, saya sempatkan turun dari motor untuk menyapa dan memberikan selembar Rp.10.000 untuk keduanya. Dari obrolan super singkat rutin itulah saya mengetahui bahwa mereka perantau dari Pemalang yang gagal mengecap indahnya ibukota, mereka berdua tinggal di bedeng tidak jauh dari tempat gerobak mereka mangkal, sementara anak-anak mereka masih tertinggal di Pemalang dalam hidup yang susah.

Di antara rumah-rumah besar nan mewah, sepasang kakek nenek setiap pagi mengais rejeki dengan berjualan papan cucian. Hidup mereka serba kekurangan.

Kek Anani terserang stroke, sekitar 2 tahun lalu, akibatnya pendengaran dan penglihatannya terganggu. Itulah alasan mengapa Nek Sairah tidak berjualan di pasar. Kek Anani tidak kuat lagi berjalan agak jauh, tidak mungkin ditinggal sendiri di bedeng tanpa ada yang menjaga. Memang setiap hari Nek Sairahlah yang mendorong gerobak, sedangkan Kek Anani berjalan terseok-seok dan terbungkuk-bungkuk mengikuti dari belakang.

Banyak hal yang sudah tidak diingat Nek Sairah, misalnya berapa usia mereka berdua dan kapan tepatnya mereka datang ke Jakarta. Hal yang jelas diingatnya adalah harga papan cucian yang dijajakannya, Rp. 80.000, dan Rp. 5.000 miliknya dari setiap papan cucian yang laku terjual, selebihnya harus disetor kembali ke produsen papan cucian. Meski tak menolak jika diberi uang, tapi Nek Sairah dan Kek Anani enggan menengadahkan tangan, enggan meminta-minta.

Sejak stroke, sekitar 2 tahun yang lalu, Kek Anani mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran. Tubuhnya melemah, tak kuat lagi berjalan jauh. Saat menjajakan papan cucian, sering ia terlihat sempoyongan.

Selama ini, mereka belum pernah terjamah oleh program-program bantuan apapun dari pemerintah yang ditujukan untuk orang miskin. Ketika saya tanya, apa yang paling dibutuhkannya?. Nek Sairah bilang mereka sangat butuh uang untuk pengobatan Kek Anani. Sejak terkena stroke, Kek Anani tak pernah menjalani pengobatan khusus untuk penderita stroke, kalaupun berobat paling hanya ke puskesmas. Dokter menganjurkan Kek Anani makan makanan sehat dan bergizi, minum susu, serta minum obat secara teratur, tapi kenyataan mengharuskan Kek Anani makan seadanya saja tanpa minum susu, apalagi obat.

***

Pernah suatu kali saya foto Kek Anani dan Nek Sairah, lalu fotonya saya posting di Facebook. Seorang teman yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis buku, Mbak Eni namanya, tergerak hatinya untuk membantu. Kebetulan almarhumah ibunda Mbak Eni dulu pernah menderita stroke, itulah yang menggerakkannya merintis Rumah Stroke Indonesia.

Melalui Rumah Stroke Indonesia, kita yang peduli bisa menyalurkan bantuan untuk para penderita stroke di seluruh tanah air. Di bulan Ramadhan ini ada program parcel untuk penderita stroke yang tidak mampu, isinya berupa berbagai kebutuhan penderita stroke, mulai dari pampers dewasa, susu, gula dan kue kering rendah kalori, beras merah, hingga kursi roda. Untuk informasi pengiriman bantuan, silakan hubungi Mbak Eni via enisetiati_penulis@yahoo.co.id.

Semoga curhat ringan saya ini berdampak besar bagi Kek Anani dan Nek Sairah. Terakhir menyapa mereka, sekitar 2 hari yang lalu, mata Nek Sairah sayu menatap sambil berkata bahwa mereka tidak pernah mudik, tidak juga menyantap ketupat dan opor ayam, tidak ada uang, di hari Lebaran pun tetap menjajakan papan cucian.

Kek Anani dan Nek Sairah, menjajakan papan cucian setiap pagi.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

2 komentar:

  1. Mba apakah mba msih sering bertemu mereka ? Bisakah saya menyampaikan sedikit bantuan kepada nenek dan kakek itu ??? Posisi saya tidak memungkinkan untuk memberi secara langsung :( jika bisa hub saya di opratanya@yahoo.com, atau saya minta email mbak ... Terima kasih mba

    BalasHapus
  2. aku kontak via email aja ya Mbak :-)

    BalasHapus