Selasa, 10 Februari 2015

Novel Tanda Cinta*


Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua

Kasih Tak Sampai, lagu milik Padi yang dinyanyikan kembali oleh Vidi Aldiano setelah dimashup dengan lagu Pupus milik Dewa, lagu ini sengaja kuputar berulang-ulang untuk menemaniku menjelang tengah malam, sementara jemariku kian lincah di atas keyboard laptop.
Sudah beberapa malam ini, aku menyusuri lorong waktu berkendara memori, demi mengumpulkan keping-keping kenangan dan merangkainya menjadi sebuah cerita. Yang kutahu, petualangan Nobita dan Doraemon dengan mesin waktu adalah hal yang sangat hebat, karena melalui petualangan itulah mereka bisa mencegah suatu peristiwa di masa lalu bahkan mengubah masa depan. Yang kualami, sering kutemukan kenangan indah yang bahagianya serasa nyata seolah kualami lagi peristiwa itu, tapi tak jarang kutemukan kenangan pahit dan sedih yang membuka kembali luka lama. Yang pasti, tak ada satupun dari masa lalu yang dapat kuubah.
Terus kususuri lorong waktu, memori melaju membawaku kembali ke beberapa tahun lalu. Kutemukan diriku di masa itu, sosok remaja frustasi akibat harapan yang terlalu tinggi namun pencapaiannya terlalu rendah. Aku si remaja frustasi menghabiskan hari dengan bersedih hati, hingga tahun hampir berganti masih banyak yang belum usai kutangisi. Murung dan lesu, tiada warna di hidupku selain kelabu. Inilah keping kenangan pertama yang kukumpulkan.
Tahun pun berganti, tanpa terasa setengah tahun sudah terlewati. Tak disangka, aku si remaja frustasi mendapat hadiah yang tergolong mewah. Ya!, tergolong mewah bagi seorang remaja yang baru saja diwisuda dengan predikat mahasiswi tanpa prestasi, hadiah mewah yang penuh berkah, berawal dari sinilah semuanya berubah. Sebuah perjalanan ibadah, kita mengenalnya dengan istilah umroh, akan segera kualami. Tentunya tidak seorang diri, tapi bersama sanak famili. Inilah keping kenangan kedua yang kukumpulkan.
Berbulan-bulan diri selalu dirundung bingung, pastilah sebagian besar waktu di sepanjang perjalanan ibadah banyak digunakan untuk merenung. Luapan penyesalan satu demi satu berguguran, diiringi permohonan ampunan kepada Tuhan, dibasahi air mata nan bercucuran. Menyesal karena tidak fokus belajar, menyesal karena tergoda target kecil berjangka pendek sehingga target besar berjangka panjang akhirnya buyar dan tak teraih, dihimpit oleh rasa takut gagal membahagiakan orangtua, dihantui kekhawatiran tentang masa depan, dan aaarrrgghhh!!!...makin dipikirkan makin berdatangan kegelisahan menyerang. Tak cukup dengan meluapkan timbunan penyesalan dan membiarkan diri diliputi gelisah, aku si remaja frustasi tiba-tiba saja bertekad untuk berubah dan berbenah. Ya!, tekad yang kuat agar diri mengalami perbaikan, meski belum mengerti apa langkah pertama yang harus dilakukan. Inilah keping kenangan ketiga yang kukumpulkan.

Malaikat Tanpa Sayap

            Kurang dari sebulan sejak kembali dari ibadah umroh, seorang teman mengajak berkunjung ke sebuah panti asuhan, dia rutin berkunjung ke sana karena menjadi sukarelawan yang mendampingi anak-anak yatim piatu. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali kunjungan…kulihat diriku waktu itu hanya mengamati aktifitas temanku sambil duduk di sudut ruangan, sama sekali enggan berinteraksi dengan anak-anak penghuni panti, sedangkan temanku sibuk mengasuh dan bermain dengan mereka yang usianya rata-rata kurang dari 5 tahun. Di kunjungan kelima, baru mulai ada interaksi dengan anak-anak penghuni panti, itupun sesekali. Tak perlu heran pada sikapku sebab aku bukan penyuka anak-anak. Inilah keping kenangan keempat yang kukumpulkan, sekaligus langkah pertama menuju perubahan.
          Keajaiban mulai menampakkan cahayanya di kunjungan keenam. Kudapati diriku waktu itu tak sengaja beradu pandang dengan seorang batita perempuan penghuni panti asuhan, umurnya 1,5 tahun, kecil mungil, berkulit putih bersih. Adu pandang kurang dari 10 detik, kala itu mata kami benar-benar bertemu. Entah energi apa yang mengalir dari tatap matanya hingga membuat jantungku berdegup lebih kencang, spontan kakiku melangkah mendekatinya kemudian aku berlutut agar tinggi kami sejajar, makhluk mungil itu mundur selangkah sebab aku masih asing baginya. Dari jarak sangat dekat kulihat sepasang mata bulat jernih menatapku dengan penuh kepolosan, dari sepasang mata itulah aku sempat melongok sekilas ke dalam jiwanya, jiwa suci tak berdosa yang tersia-sia. 

           Sejak adu pandang itulah perubahan dimulai. Aku rutin datang ke panti asuhan, bahkan hampir setiap sore sepulang magang, untuk bertemu dan bermain dengan makhluk mungil bernama Keisha. Aku si remaja frustasi berubah menjadi sosok yang happy dan bersemangat tinggi. Kelabu terusir pergi oleh damai yang kini selimuti hati, warna-warni seolah kembali menghiasi, hari-hari jadi lebih berarti karena aku dicintai.

         Keisha bak malaikat tanpa sayap, begitulah aku memaknai hadirnya. Makin hari kedekatan kami makin terjalin erat, sang malaikat tanpa sayap memancarkan energi positifnya ke jiwaku dan energi itu kini memancar kian kuat, menyembuhkan jiwaku yang dulu kurang sehat dan menularkan semangat serta kebahagiaan kepada orang lain. Inilah keping kenangan kelima yang kukumpulkan, berbeda dari keping kenangan sebelumnya, keping kenangan ini berwarna cerah keemasan dan nampak indah.
             Tak peduli harus berkorban demi bisa bersama Keisha, tak pernah ada keberatan meski harus menahan lapar dan menekan pengeluaran, maklum sebab gaji fresh graduate yang berstatus magang tak lebih dari 2 juta per bulan, sedangkan pengurus panti asuhan punya aturan tidak menerima pemberian dalam jumlah satuan, sumbangan harus sejumlah penghuni panti asuhan agar semuanya bisa kebagian. Keisha senang sekali makan burger McD, sebulan sekali kubelikan 40 burger McD untuk Keisha dan seluruh penghuni panti. Bahagiaku tak terkira saat malaikat mungilku menyantap lahap burger kesukaannya, tak peduli aku harus mengurangi makan dan belanja seirit mungkin demi berhemat agar terbeli 40 burger, boros sedikit saja berarti tak ada burger untuk Keisha. Makin bertambah umur Keisha, perutnya makin kuat, makin banyak makanan yang bisa dimakannya, kadang kubawakan makanan selain burger, misalnya siomay, soto, dan bakso. Nafsu makannya tinggi, kecuali jika sedang sakit, kadang minta tambah lagi walaupun sudah habis seporsi.
            Malaikat tanpa sayap tumbuh sehat, kuat, besar, dan pintar. Kulihat diriku layaknya seorang ibu muda yang penuh perhatian kepada putri kecilnya. Sementara orang-orang terdekat mengakui perubahan positifku, karir yang kian menanjak bisa menjadi salah satu bukti bahwa si remaja frustasi benar-benar telah berubah menjadi sosok optimis dan bersemangat tinggi. Inilah keping kenangan keenam yang kukumpulkan, keping kenangan ini warnanya secerah dan seindah keping kenangan kelima.
            Hingga suatu hari, datang perintah mutasi dari tempatku bekerja, aku harus kembali ke kota asalku, Jakarta. Tanpa pikir panjang, kutemui pengurus panti asuhan, kuajukan permohonan adopsi agar aku bisa membawa serta Keisha ke Jakarta. Sayang seribu sayang, pengurus panti asuhan menolaknya dengan 2 alasan, yang pertama karena aku masih lajang sehingga belum diperbolehkan mengadopsi anak, yang kedua karena Keisha masih memiliki orangtua kandung, saat ini mereka sedang menjalani ikatan dinas di kota lain dan rencananya akan mengambil Keisha kembali jika masa ikatan dinas telah berakhir. Pedih aku rasakan bahwa perpisahanlah kenyataan yang harus kuterima.
            Tetap kujalani mutasi ke Jakarta sebab ganjarannya adalah pangkat dan gaji yang lebih tinggi, tapi jujur saja ini tak mudah meski kami hanya terpisah jarak sekitar 150 km jauhnya. Biasanya kami bisa bertemu setiap hari, sekarang hanya bisa bertemu saat weekend. Setiap hari Jum’at aku benar-benar berseru thank God it’s Friday, tak sabar ingin segera berjumpa Keisha. Inilah keping kenangan ketujuh yang kukumpulkan, warnanya tetap cerah dan indah tapi tak secerah dan seindah keping kenangan kelima dan keenam.

Kasih Tak Sampai     

Setahun sudah kami lalui dengan rentang jarak 150 km serta waktu bertemu hanya di hari Sabtu dan Minggu, so far so good. Beberapa kali kucoba menjalin silaturahim dengan orangtua kandung Keisha, walau tak mudah sebab pihak panti asuhan menyembunyikan identitas mereka, tapi aku tetap berusaha sebab aku berharap tetap bisa menyayangi dan ikut membesarkan Keisha meski kelak mereka akan mengambilnya kembali. Aku tak hanya jatuh cinta pada sang malaikat tanpa sayap, lebih dari itu, dia telah menjadi bagian diriku. Dari bocah mungil itulah aku belajar banyak hal, terutama tentang bersyukur dan menjalani hidup dengan senyum. Aku tak ingin kehilangan malaikatku.
Hingga suatu hari, setelah 2 minggu tidak bisa bertemu Keisha karena terhimpit deadline pekerjaan, aku mendapat kabar dari seorang pengasuh panti asuhan. Kabar itu bak petir yang menyambar menggelegar di siang bolong, butuh 20 menit untuk memutuskan tindakan pertama yang harus kuambil serta lebih dari 6 bulan untuk berhenti melakukan penyangkalan dan menerima kenyataan. Keisha sudah tidak ada lagi di panti, dia diadopsi oleh seorang kaya raya yang membayar mahal pada pengurus panti.
Kudatangi panti itu, kuminta penjelasan dari pengurusnya, selama ini mereka bilang padaku bahwa Keisha tidak boleh diadopsi karena akan diambil kembali oleh orangtua kandungnya, kucoba bernegosiasi dengan pengurus panti, tak apalah Keisha diadopsi jika itu yang terbaik bagi masa depannya tapi aku ingin tetap bisa bertemu dengannya. Apa yang kudapat?, hanya pertengkaran hebat dengan pengurus panti yang keukeuh tak membagi sekecil apapun informasi tentang Keisha.
Hatiku sangat sakit hingga luluh lantak, ada yang tercabut paksa dari jiwaku, rasa hampa menambah perih luka menganga. Inilah keping kenangan kedelapan yang kukumpulkan, warnanya hitam kelam, dari sini tercium aroma luka begitu tajam, telapak tanganku tergores saat keping kenangan ini kugenggam. Keping kenangan yang penuh dengan muram durja dan pedih kehilangan.

Setahun Sejak Keisha Menghilang…

            Kisahku dengan Keisha adalah kisah kasih tak sampai, tidak salah jika dikatakan demikian, tapi bagiku kisah ini adalah kisah cinta luar biasa yang tak semua orang punya, tak semua dari kita pernah mengalaminya, tak semua hati dan akal sanggup memahaminya. Maka kuberanikan diri untuk menyusuri lorong waktu, menjumpai kembali titik-titik suka dan duka, mengumpulkan keping-keping kenangan yang akan kurangkai menjadi sebuah novel.

Novel tanda cinta pada malaikat tanpa sayap, dia yang selamanya akan selalu menjadi malaikat mungilku. Novel ini adalah upayaku menyampaikan kisah kasih yang tak sampai.


IntAnnisa

Diselesaikan di Surabaya, 8 Februari 2015.
*cerpen ini dilombakan pada Proyek Menulis Kasih Tak Sampai nulisbuku.com dan masuk dalam 200 besar dari 1.025 cerpen

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf