Cerita tentang makan
malam di Surabaya. Pas jalan-jalan, pas ngeliat warung makan kaki lima yang
lumayan rame, saya berasumsi pasti makanannya enak dan harganya murah. Akhirnya
saya makan di warung kaki lima itu, pilih-pilih lauk sebentar, daaan…terkejut
pas sampai di depan kasir. Melihat bon dan harga-harga makanan, mata saya
melotot, kening saya berkerut. Maahaaaal banget!!!. Sepotong ayam goreng ukuran
standar dibanderol Rp. 35.000, seiris paru ukuran sedang berharga Rp. 25.000.
Soal rasa, cukup enak tapi tidak istimewa, layaknya rasa makanan warung kaki
lima.
Selesai makan, perut
terasa kenyang tapi hati terasa sedikit dongkol. Saya mulai berpikir kalau saya
digetok, tapi pas bayar di kasir tadi iseng-iseng melirik bon milik pengunjung
lain dan harganya kurang lebih sama. Yang membingungkan, beberapa pengunjungnya
terlihat berbaju sangat sederhana, menguping dari obrolan mereka yang berbahasa
Jawa, kalau tidak salah pekerjaan mereka adalah tukang ojek yang, mohon maaf!,
sangat jarang mau makan makanan dengan harga semahal ini.
Karena penasaran, saya kembali lagi ke sana
bersama saudara saya yang tinggal di Surabaya. Sama seperti kemarin, pas mau
pilih-pilih lauk penjualnya tanya “Mau ikan apa?” dan (sama seperti kemarin
juga) saya jawab “Bukan ikan, saya maunya ayam”. Ketika sampai di depan kasir,
disodorkan bon dengan harga sama mahalnya dengan harga kemarin. Saudara saya
yang orang Surabaya tiba-tiba berbicara dengan petugas kasir, berbahasa Jawa
yang saya kurang paham artinya karena ngomongnya cepet banget. Dan tiba-tiba…
AJAIB!, harganya dimurahin.
Menurut analisa
saudara saya, pertanyaan penjual “Mau ikan apa?” yang saya jawab “Bukan ikan,
saya maunya ayam” sukses mengidentifikasi bahwa saya bukan orang asli Surabaya.
Dalam bahasa Jawa, ikan berarti lauk, tahu dan tempe juga disebut ikan bahkan
ayam disebut ikan ayam, sedangkan ikan (yang bisa berenang) disebut iwak.
Bermula dari sana, maka digetoklah dan rugilah saya.
Keesokannya, saya dan
keluarga melanjutkan perjalan ke Semarang, pas cari tempat makan malam di
Simpang Lima, sengaja kami hindari warung kaki lima. Awalnya cari restoran siap
saji yang fixed price, tapi belum
ketemu resto siap saji, mata saya melihat papan di depan deretan warung kaki
lima. Papan itu bertuliskan : “APABILA KONSUMEN MERASA DIRUGIKAN DENGAN HARGA
YANG TIDAK WAJAR HARAP HUBUNGI…”.
Akhirnya kami putuskan
makan di warung kaki lima dan ternyata harga yang harus kami bayar adalah harga
normal, bahkan murah jika dibandingkan harga di warung kaki lima Jakarta,
rasanya enak. Setelah makan, perut kenyang hati pun senang.
Salut untuk kota
Semarang yang menjaga image-nya dengan cara yang sederhana namun mengesankan.
Semarang berhasil memberi rasa aman kepada para pendatang yang berwisata
kuliner. Saya jadi teringat kejadian beberapa hari sebelum kami berangkat ke
Surabaya. Adik saya nongkrong di JCo Cinere Mall, karena terlalu
banyak barang bawaan, tasnya tertinggal. Awalnya adik saya tidak menyadari,
hingga sudah malam, kira-kira pukul 22.00, dia menerima telepon yang semula
enggan dijawab sebab nomernya tak dikenal. Beberapa kali telepon tak dijawab
itu kemudian disusul oleh SMS dari salah seorang pelayan kafe tersebut,
menanyakan apakah tasnya tertinggal?, jika iya maka bisa diambil besok.
Keesokannya, kami
kembali ke JCo Cinere Mall untuk mengambil tas yang tertinggal. Pelayannya didampingi store manager mengembalikan tas
tersebut, isinya utuh termasuk uang Rp. 200.000, dompet, KTP, dan ATM. Pelayan
dan store manager juga menolak dengan
halus tanda terima kasih (uang) yang kami berikan.
Image Building
Waktu itu saya hanya
berpikir, crew JCo Cinere Mall ini adalah orang-orang yang jujur, namun setelah makan
malam di Simpang Lima Semarang, saya jadi berpikir bahwa lebih dari sekedar
kejujuran yang dijunjung tinggi, melainkan image
yang dibentuk. Pengunjung mendapatkan rasa aman ketika nongkrong di JCo Cinere Mall, barang tertinggal pun dikembalikan, kemudian pengalaman ini bisa
menjadi cerita dari mulut ke mulut (word
of mouth) yang beredar. Terbentuklah citra baik : JCo Cinere adalah kafe yang memberi
kenyamanan dan rasa aman kepada customernya.
Inspirasi buat saya,
citra / image dapat dan boleh
dibentuk. Berbuat baiklah!, selain sesuai dengan ajaran agama, perbuatan baik
yang kita lakukan akan berdampak baik pada citra diri.
*tulisan ini pernah diposting di http://iamintannisa.blogdetik.com/ , lomba 30 Hari Non Stop Ngeblog
- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar