Tulisan ini saya buat pada 15 April 2010, tidak lama setelah menyelesaikan KKNM (Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa), pagi tadi tidak sengaja saya temukan di Facebook dan rasanya masih layak untuk dibagi kepada teman-teman blogger.
Indonesia adalah negara hukum, tapi hukum dan keadilan di Indonesia
sangat buruk. Ramai orang menghujat (kinerja) polisi, jaksa, hakim, dan
pengacara. Patut diketahui bahwa menegakkan hukum bukan semata tugas
aparat hukum, melainkan kewajiban seluruh elemen bangsa. Kesadaran hukum
masyarakat turut andil dalam upaya penegakan hukum. Seberapa besarkah
kesadaran hukum rakyat Indonesia?, sebuah pengamatan dan (anggaplah)
oleh-oleh KKNM PPMD Integratif UnPad.
... ... ...
Dusun Wage, desa Bandorasa Kulon, Cilimus, Kuningan, Jawa Barat. Desa yang agraris dengan 80% warganya berprofesi sebagai petani. Sawah-sawah luas membentang, para ibu mengolah ubi jalar ungu menjadi camilan khas Cilimus. Sayangnya, di desa ini tidak ada koperasi, sehingga para petani kesulitan pupuk dan pengairan, kebetulan desa ini terletak di kaki Gunung Ciremai tetapi tanahnya berpasir, para ibu juga mengalami kendala dalam memasarkan olahan ubi jalar ungu hasil kreatifitas mereka.
Setelah diobservasi, ternyata di desa ini sudah beberapa kali didirikan koperasi, namun selalu bubar karena penggelapan dana oleh pengurus, warga desa akhirnya kapok untuk mendirikan koperasi lagi. Beberapa orang mengumpulkan uang sebagai modal usaha bersama, tapi pada akhirnya bubar karena pembagian untung rugi yang menguntungkan satu pihak & merugikan pihak lain, maka muncul trauma bekerja sama.
Wanita yang
menjadi buruh pabrik sering merasa tersiksa oleh kerja lembur dengan
upah yang minim, diabaikannya keselamatan dan kesehatan pekerja (tidak
ada cuti hamil, menyusui, haid, serta tunjangan kesehatan dan persalinan).
Saat ditawarkan penyuluhan hukum, responnya sangat "menakjubkan" : "Kami orang desa, cuma ngerti sawah & ladang, disuruh ronda malam aja susahnya minta ampun...."
Wah..wah..wah!!!, padahal penyuluhan hukum yang direncanakan itu sangat simple dan pastinya berbasis pada kebutuhan warga desa. Niat kami baik, mengenalkan aturan perkoperasian, mengajarkan membuat Surat Perjanjian agar kelak ketika mereka bekerja sama tidak ada lagi salah satu pihak yang dirugikan dan tidak mampu menuntut haknya. Sangat tidak mungkin jika kami mengajak warga desa untuk memelajari pasal-pasal di KUHP, BW, KUHD, atau UU lainnya. Lebih tidak mungkin lagi jika penyuluhan tersebut bertujuan untuk narsis dan mengibarkan bendera fakultas.
... ... ...
Ternyata, jangankan bicara kesadaran hukum, minat masyarakat terhadap hukum sangat rendah, alasannya mungkin karena hukum terlalu susah untuk dimengerti oleh orang awam, padahal hukum (aturan) tercipta karena adanya masyarakat, ubi societas ibi ius, kisah Robinson Crosseau & Mr. Friday yang populer di mata kuliah PIH (Pengantar Ilmu Hukum). Maka dari itu :
1. salah besar jika ada yang mengatakan "kuliah di FH itu mudah, hanya menghapal, tidak seperti kuliah di FK, FE, atau FMIPA yang banyak menghitung" sebab tanggung jawab moral para S.H. tidaklah ringan dalam mengawal tegaknya hukum di Indonesia
2. keadilan dan kebenaran sifatnya relatif, jangan mudah menilai dan berteriak "Ini salah!, itu gak benar!, kamu gak adil!"
3. sebelum menilai dan berkomentar tentang hukum, keadilan, dan aparat hukum di Indonesia, sebaiknya pelajari serta kenalilah hukum terlebih dahulu, jangan jadi komentator yang tidak berkompeten
4. patuhilah hukum karena hukum dibuat untuk dipatuhi, yang bilang "hukum dibuat untuk dilanggar" itu... (SORRY!!!) orang stress.
Tulisan ini hanya curahan ide ringan seorang calon S.H. (Aamiin!), tidak sempurna dan penuh kekurangan, tapi patut untuk direnungkan. Semoga yang membacanya diberkahi Tuhan Y.M.E. Aamiin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar