Baru jam segini tapi matahari udah redup-redup aja, seharusnya tengah hari begini nih matahari lagi terik-teriknya. Tambah sore bakal tambah mendung, langit makin gelap dan akhirnya hujan. Maklum bulan November, sudah masuk musim hujan, hampir tiap hari turun hujan. Kadang hanya gerimis, kadang hujan deras plus angin kencang dan genangan air yang bikin jalanan macet.
Inget-inget jaman kuliah dulu, pas kemana-mana masih naik kendaraan umum atau nebeng motor teman. Terasa banget repotnya bepergian kalau lagi hujan, apalagi kalau hujan besar. Turun dari angkot atau bis harus sigap buka payung yang always standby di dalam tas.
Suatu hari pas masih kuliah, kebetulan nebeng motor teman dan tiba-tiba hujan tumpah sangat deras dari langit, kita putuskan berteduh di halte sampai hujan agak reda. Sambil berteduh di halte, saya mendengarkan celotehan sesama pengguna sepeda motor yang sama-sama berteduh.
Di antara mereka ada yang bilang, "Hujan itu pertanda berkah, seiring turunnya hujan turun pula rejeki dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Pemurah."
Lalu ada yang menanggapi, "Tapi gara-gara hujan rencana bisa tertunda, bisa batal juga!. Ya contohnya sekarang ini, seharusnya kita udah sampai di tempat tujuan, tapi tertunda karena harus berteduh, nunggu hujan reda. Belum lagi macetnya, kalau habis hujan kan sering banjir dan ujung-ujungnya pasti macet."
Ada lagi yang nimbrung kasih komentar tentang hujan, "Hujan itu berkah, terutama buat tanah dan tanaman, tapi kadang hujan juga bawa musibah, misalnya banjir."
Saya hanya diam mendengarkan sembari (tanpa sengaja) mengumpulkan opini-opini tentang hujan.
Beberapa minggu yang lalu, saat saya on the way ke rumah, hujan baru gerimis lebat tapi air sudah mulai menggenang di jalanan. Alhasil, lalu lintas padat merayap, jadi 30 menit lebih lama untuk sampai ke rumah. Pas masuk komplek perumahan, hujan makin deras, angin kencang, petir menggelegar daaannn... air yang turun dari langit bercampur dengan serpihan-serpihan kecil es batu. Yup!, hujan es. Jarak pandang hanya sekitar 1 meter. Suara serpihan-serpihan kecil es batu yang beradu dengan atap dan kaca mobil saya juga lumayan dahsyat. Pohon-pohon tumbang menghalangi jalan, saya terpaksa berputar-putar di dalam komplek dan kesulitan mencapai rumah yang tinggal beberapa meter lagi. Mengerikan!!!.
Beberapa hari setelah kejadian hujan es, saya agak parno setiap langit mulai mendung, apalagi kalau sedang di perjalanan. Khawatir banjir, macet, petir, pohon tumbang, atau hujan es lagi. Rasanya musim hujan kali ini cukup memberi efek tidak nyaman pada psikologis saya. Terlebih beberapa agenda penting terpaksa ditunda gara-gara hujan dan ada kejadian mobil tetangga yang rusak tertimpa pohon tumbang.
Terngiang lagi opini-opini tentang hujan yang saya dapat secara tak sengaja saat berteduh di halte, jaman saya masih kuliah dulu. Hujan memang berkah, tapi makin lama dan kalau makin sering hujan itu bisa bawa musibah, minimal mengacaukan rencana yang sudah tertata. Hingga suatu ketika, saat hujan deras dan angin kencang datang lagi, saya terdampar di super market, tertahan oleh hujan.
Sambil menunggu jemputan dari rumah, saya lihat sekelompok bocah laki-laki yang melangkah dengan ceria di bawah amukan hujan angin, mereka sama sekali tidak takut gemuruh petir yang sambar menyambar apalagi takut basah.
"Payung, Kak?," salah seorang ojek payung menawarkan jasanya kepada saya, anak laki-laki kecil berseragam putih merah.
Karena iba, saya terima jasanya, sengaja saya minta supir untuk menunggu saja di parkiran, tidak usah menjemput saya sampai ke lobby. Saya rangkul bocah itu agar ikut berpayung bersama saya, kasihan badannya sudah basah kuyup.
"Rumah kamu dimana?," saya buka obrolan.
"Di deket sini, Kak!. Persis di belakang super market ini."
"Kelas berapa?."
"Kelas 3 SD, Kak."
"Kamu sering jadi ojek payung?."
"Sering, Kak!. Hampir setiap hujan, langsung ambil payung terus lari ke sini berlima bareng temen-temen."
"Disuruh orang tua?."
"Kemauan sendiri, buat tambah-tambah uang jajan," jawabnya polos.
"Kamu gak takut?."
"Takut apa, Kak?."
"Yaaa... takut petir, anginnya kenceng banget loowh!, takut sakit, kamu kan basah-basahan nih," pertanyaan saya dijawab oleh gelengan kepala si bocah ojek payung. Gelengan kepalanya mantap, semantap dirinya yang tidak takut petir, angin, basah, dan sakit.
"Justru kalo hujan tuh malah ada rejeki buat saya, Kak!. Hehehe...."
Entah kena angin apa, sebelum masuk ke mobil, saya berikan selembar uang berwarna biru, inilah pertama kalinya saya memberi uang dalam jumlah besar kepada orang lain yang bukan saudara atau orang tua saya, "Bagi-bagi sama temen-temennya ya!."
"Terima kasih, Kak!. Semoga Kakak tambah banyak rejeki."
"Aamiin!," spontan saya aminkan do'anya, semoga para malaikat juga mengaminkan do'a itu agar Tuhan mengabulkannya.
Saya menangkap kilatan bahagia dari sepasang bola mata bocah ojek payung tadi. Saya juga penasaran sama diri sendiri, biasanya lembaran I Gusti Ngurah Rai itu paling sering saya tukar dengan seporsi makanan dan minuman di kafe saat hang out sama teman-teman, atau dengan selembar tiket nonton film di bioskop, tapi kali ini saya tidak menyesal menukarnya dengan do'a tak terduga dari seorang anak laki-laki kecil yang pemberani dan mandiri.
Inget-inget jaman kuliah dulu, pas kemana-mana masih naik kendaraan umum atau nebeng motor teman. Terasa banget repotnya bepergian kalau lagi hujan, apalagi kalau hujan besar. Turun dari angkot atau bis harus sigap buka payung yang always standby di dalam tas.
Suatu hari pas masih kuliah, kebetulan nebeng motor teman dan tiba-tiba hujan tumpah sangat deras dari langit, kita putuskan berteduh di halte sampai hujan agak reda. Sambil berteduh di halte, saya mendengarkan celotehan sesama pengguna sepeda motor yang sama-sama berteduh.
Di antara mereka ada yang bilang, "Hujan itu pertanda berkah, seiring turunnya hujan turun pula rejeki dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Pemurah."
Lalu ada yang menanggapi, "Tapi gara-gara hujan rencana bisa tertunda, bisa batal juga!. Ya contohnya sekarang ini, seharusnya kita udah sampai di tempat tujuan, tapi tertunda karena harus berteduh, nunggu hujan reda. Belum lagi macetnya, kalau habis hujan kan sering banjir dan ujung-ujungnya pasti macet."
Ada lagi yang nimbrung kasih komentar tentang hujan, "Hujan itu berkah, terutama buat tanah dan tanaman, tapi kadang hujan juga bawa musibah, misalnya banjir."
Saya hanya diam mendengarkan sembari (tanpa sengaja) mengumpulkan opini-opini tentang hujan.
Beberapa minggu yang lalu, saat saya on the way ke rumah, hujan baru gerimis lebat tapi air sudah mulai menggenang di jalanan. Alhasil, lalu lintas padat merayap, jadi 30 menit lebih lama untuk sampai ke rumah. Pas masuk komplek perumahan, hujan makin deras, angin kencang, petir menggelegar daaannn... air yang turun dari langit bercampur dengan serpihan-serpihan kecil es batu. Yup!, hujan es. Jarak pandang hanya sekitar 1 meter. Suara serpihan-serpihan kecil es batu yang beradu dengan atap dan kaca mobil saya juga lumayan dahsyat. Pohon-pohon tumbang menghalangi jalan, saya terpaksa berputar-putar di dalam komplek dan kesulitan mencapai rumah yang tinggal beberapa meter lagi. Mengerikan!!!.
Sambil berpayung, warga bergotong royong menyingkirkan pohon tumbang yang menghalangi jalan. |
Beberapa hari setelah kejadian hujan es, saya agak parno setiap langit mulai mendung, apalagi kalau sedang di perjalanan. Khawatir banjir, macet, petir, pohon tumbang, atau hujan es lagi. Rasanya musim hujan kali ini cukup memberi efek tidak nyaman pada psikologis saya. Terlebih beberapa agenda penting terpaksa ditunda gara-gara hujan dan ada kejadian mobil tetangga yang rusak tertimpa pohon tumbang.
Pohon di halaman depan rumah ternyata tumbang juga diterjang angin. |
Terngiang lagi opini-opini tentang hujan yang saya dapat secara tak sengaja saat berteduh di halte, jaman saya masih kuliah dulu. Hujan memang berkah, tapi makin lama dan kalau makin sering hujan itu bisa bawa musibah, minimal mengacaukan rencana yang sudah tertata. Hingga suatu ketika, saat hujan deras dan angin kencang datang lagi, saya terdampar di super market, tertahan oleh hujan.
Sambil menunggu jemputan dari rumah, saya lihat sekelompok bocah laki-laki yang melangkah dengan ceria di bawah amukan hujan angin, mereka sama sekali tidak takut gemuruh petir yang sambar menyambar apalagi takut basah.
"Payung, Kak?," salah seorang ojek payung menawarkan jasanya kepada saya, anak laki-laki kecil berseragam putih merah.
Karena iba, saya terima jasanya, sengaja saya minta supir untuk menunggu saja di parkiran, tidak usah menjemput saya sampai ke lobby. Saya rangkul bocah itu agar ikut berpayung bersama saya, kasihan badannya sudah basah kuyup.
Saya belajar dari ojek payung yang mengais rejeki saat hujan sore tadi. |
"Rumah kamu dimana?," saya buka obrolan.
"Di deket sini, Kak!. Persis di belakang super market ini."
"Kelas berapa?."
"Kelas 3 SD, Kak."
"Kamu sering jadi ojek payung?."
"Sering, Kak!. Hampir setiap hujan, langsung ambil payung terus lari ke sini berlima bareng temen-temen."
"Disuruh orang tua?."
"Kemauan sendiri, buat tambah-tambah uang jajan," jawabnya polos.
"Kamu gak takut?."
"Takut apa, Kak?."
"Yaaa... takut petir, anginnya kenceng banget loowh!, takut sakit, kamu kan basah-basahan nih," pertanyaan saya dijawab oleh gelengan kepala si bocah ojek payung. Gelengan kepalanya mantap, semantap dirinya yang tidak takut petir, angin, basah, dan sakit.
"Justru kalo hujan tuh malah ada rejeki buat saya, Kak!. Hehehe...."
Entah kena angin apa, sebelum masuk ke mobil, saya berikan selembar uang berwarna biru, inilah pertama kalinya saya memberi uang dalam jumlah besar kepada orang lain yang bukan saudara atau orang tua saya, "Bagi-bagi sama temen-temennya ya!."
"Terima kasih, Kak!. Semoga Kakak tambah banyak rejeki."
"Aamiin!," spontan saya aminkan do'anya, semoga para malaikat juga mengaminkan do'a itu agar Tuhan mengabulkannya.
Saya menangkap kilatan bahagia dari sepasang bola mata bocah ojek payung tadi. Saya juga penasaran sama diri sendiri, biasanya lembaran I Gusti Ngurah Rai itu paling sering saya tukar dengan seporsi makanan dan minuman di kafe saat hang out sama teman-teman, atau dengan selembar tiket nonton film di bioskop, tapi kali ini saya tidak menyesal menukarnya dengan do'a tak terduga dari seorang anak laki-laki kecil yang pemberani dan mandiri.
Saya mendapat sebuah pelajaran dari hujan sore tadi. Melalui hujan, Tuhan Yang Maha Pemurah membagikan rizki kepada makhluk-makhlukNya, ya tanah, ya tanaman, ya manusia, semuanya. Tinggal kita yang harus pandai-pandai bersyukur.
Hujan memang rahmat untuk semua mahluk dibumi...kalau sampai terjadi banjir itu krn salah manusia sdri...Salam kenal ya mbak...
BalasHapussalam kenal Mbak, terima kasih sudah berkenan komen di blog saya :-D
Hapus