Tetaplah
menjadi bintang di langit
Agar
cinta kita akan abadi
Biarlah
sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar
menjadi saksi cinta kita berdua
Kasih Tak Sampai, lagu milik Padi
yang dinyanyikan kembali oleh Vidi Aldiano setelah dimashup dengan lagu Pupus milik Dewa, lagu ini sengaja kuputar
berulang-ulang untuk menemaniku menjelang tengah malam, sementara jemariku kian
lincah di atas keyboard laptop.
Sudah beberapa malam ini, aku
menyusuri lorong waktu berkendara memori, demi mengumpulkan keping-keping
kenangan dan merangkainya menjadi sebuah cerita. Yang kutahu, petualangan
Nobita dan Doraemon dengan mesin waktu adalah hal yang sangat hebat, karena
melalui petualangan itulah mereka bisa mencegah suatu peristiwa di masa lalu
bahkan mengubah masa depan. Yang kualami, sering kutemukan kenangan indah yang bahagianya
serasa nyata seolah kualami lagi peristiwa itu, tapi tak jarang kutemukan
kenangan pahit dan sedih yang membuka kembali luka lama. Yang pasti, tak ada
satupun dari masa lalu yang dapat kuubah.
Terus kususuri lorong waktu, memori
melaju membawaku kembali ke beberapa tahun lalu. Kutemukan diriku di masa itu,
sosok remaja frustasi akibat harapan yang terlalu tinggi namun pencapaiannya
terlalu rendah. Aku si remaja frustasi menghabiskan hari dengan bersedih hati,
hingga tahun hampir berganti masih banyak yang belum usai kutangisi. Murung dan
lesu, tiada warna di hidupku selain kelabu. Inilah keping kenangan pertama yang
kukumpulkan.
Tahun pun berganti, tanpa terasa
setengah tahun sudah terlewati. Tak disangka, aku si remaja frustasi mendapat
hadiah yang tergolong mewah. Ya!, tergolong mewah bagi seorang remaja yang baru
saja diwisuda dengan predikat mahasiswi tanpa prestasi, hadiah mewah yang penuh
berkah, berawal dari sinilah semuanya berubah. Sebuah perjalanan ibadah, kita
mengenalnya dengan istilah umroh, akan segera kualami. Tentunya tidak seorang
diri, tapi bersama sanak famili. Inilah keping kenangan kedua yang kukumpulkan.
Berbulan-bulan diri selalu
dirundung bingung, pastilah sebagian besar waktu di sepanjang perjalanan ibadah
banyak digunakan untuk merenung. Luapan penyesalan satu demi satu berguguran,
diiringi permohonan ampunan kepada Tuhan, dibasahi air mata nan bercucuran.
Menyesal karena tidak fokus belajar, menyesal karena tergoda target kecil berjangka
pendek sehingga target besar berjangka panjang akhirnya buyar dan tak teraih,
dihimpit oleh rasa takut gagal membahagiakan orangtua, dihantui kekhawatiran
tentang masa depan, dan aaarrrgghhh!!!...makin
dipikirkan makin berdatangan kegelisahan menyerang. Tak cukup dengan meluapkan timbunan
penyesalan dan membiarkan diri diliputi gelisah, aku si remaja frustasi
tiba-tiba saja bertekad untuk berubah dan berbenah. Ya!, tekad yang kuat agar
diri mengalami perbaikan, meski belum mengerti apa langkah pertama yang harus
dilakukan. Inilah keping kenangan ketiga yang kukumpulkan.
Malaikat
Tanpa Sayap
Kurang dari sebulan sejak kembali dari ibadah umroh,
seorang teman mengajak berkunjung ke sebuah panti asuhan, dia rutin berkunjung ke
sana karena menjadi sukarelawan yang mendampingi anak-anak yatim piatu. Sekali,
dua kali, tiga kali, empat kali kunjungan…kulihat diriku waktu itu hanya
mengamati aktifitas temanku sambil duduk di sudut ruangan, sama sekali enggan
berinteraksi dengan anak-anak penghuni panti, sedangkan temanku sibuk mengasuh
dan bermain dengan mereka yang usianya rata-rata kurang dari 5 tahun. Di
kunjungan kelima, baru mulai ada interaksi dengan anak-anak penghuni panti,
itupun sesekali. Tak perlu heran pada sikapku sebab aku bukan penyuka anak-anak.
Inilah keping kenangan keempat yang kukumpulkan, sekaligus langkah pertama
menuju perubahan.
Keajaiban mulai menampakkan
cahayanya di kunjungan keenam. Kudapati diriku waktu itu tak sengaja beradu
pandang dengan seorang batita perempuan penghuni panti asuhan, umurnya 1,5
tahun, kecil mungil, berkulit putih bersih. Adu pandang kurang dari 10 detik,
kala itu mata kami benar-benar bertemu. Entah energi apa yang mengalir dari
tatap matanya hingga membuat jantungku berdegup lebih kencang, spontan kakiku
melangkah mendekatinya kemudian aku berlutut agar tinggi kami sejajar, makhluk
mungil itu mundur selangkah sebab aku masih asing baginya. Dari jarak sangat dekat
kulihat sepasang mata bulat jernih menatapku dengan penuh kepolosan, dari
sepasang mata itulah aku sempat melongok sekilas ke dalam jiwanya, jiwa suci
tak berdosa yang tersia-sia.
Sejak adu pandang itulah perubahan dimulai. Aku rutin datang ke panti asuhan, bahkan hampir setiap sore sepulang magang, untuk bertemu dan bermain dengan makhluk mungil bernama Keisha. Aku si remaja frustasi berubah menjadi sosok yang happy dan bersemangat tinggi. Kelabu terusir pergi oleh damai yang kini selimuti hati, warna-warni seolah kembali menghiasi, hari-hari jadi lebih berarti karena aku dicintai.
Sejak adu pandang itulah perubahan dimulai. Aku rutin datang ke panti asuhan, bahkan hampir setiap sore sepulang magang, untuk bertemu dan bermain dengan makhluk mungil bernama Keisha. Aku si remaja frustasi berubah menjadi sosok yang happy dan bersemangat tinggi. Kelabu terusir pergi oleh damai yang kini selimuti hati, warna-warni seolah kembali menghiasi, hari-hari jadi lebih berarti karena aku dicintai.
Keisha
bak malaikat tanpa sayap, begitulah aku memaknai hadirnya. Makin hari kedekatan
kami makin terjalin erat, sang malaikat tanpa sayap memancarkan energi
positifnya ke jiwaku dan energi itu kini memancar kian kuat, menyembuhkan
jiwaku yang dulu kurang sehat dan menularkan semangat serta kebahagiaan kepada
orang lain. Inilah keping kenangan kelima yang kukumpulkan, berbeda dari keping
kenangan sebelumnya, keping kenangan ini berwarna cerah keemasan dan nampak
indah.
Tak peduli harus berkorban demi bisa bersama
Keisha, tak pernah ada keberatan meski harus menahan lapar dan menekan
pengeluaran, maklum sebab gaji fresh
graduate yang berstatus magang tak lebih dari 2 juta per bulan, sedangkan
pengurus panti asuhan punya aturan tidak menerima pemberian dalam jumlah satuan,
sumbangan harus sejumlah penghuni panti asuhan agar semuanya bisa kebagian.
Keisha senang sekali makan burger McD, sebulan sekali kubelikan 40 burger McD untuk
Keisha dan seluruh penghuni panti. Bahagiaku tak terkira saat malaikat mungilku
menyantap lahap burger kesukaannya, tak peduli aku harus mengurangi makan dan
belanja seirit mungkin demi berhemat agar terbeli 40 burger, boros sedikit saja
berarti tak ada burger untuk Keisha. Makin bertambah umur Keisha, perutnya
makin kuat, makin banyak makanan yang bisa dimakannya, kadang kubawakan makanan
selain burger, misalnya siomay, soto, dan bakso. Nafsu makannya tinggi, kecuali
jika sedang sakit, kadang minta tambah lagi walaupun sudah habis seporsi.
Malaikat
tanpa sayap tumbuh sehat, kuat, besar, dan pintar. Kulihat diriku layaknya
seorang ibu muda yang penuh perhatian kepada putri kecilnya. Sementara
orang-orang terdekat mengakui perubahan positifku, karir yang kian menanjak
bisa menjadi salah satu bukti bahwa si remaja frustasi benar-benar telah
berubah menjadi sosok optimis dan bersemangat tinggi. Inilah keping kenangan
keenam yang kukumpulkan, keping kenangan ini warnanya secerah dan seindah
keping kenangan kelima.
Hingga
suatu hari, datang perintah mutasi dari tempatku bekerja, aku harus kembali ke
kota asalku, Jakarta. Tanpa pikir panjang, kutemui pengurus panti asuhan,
kuajukan permohonan adopsi agar aku bisa membawa serta Keisha ke Jakarta.
Sayang seribu sayang, pengurus panti asuhan menolaknya dengan 2 alasan, yang
pertama karena aku masih lajang sehingga belum diperbolehkan mengadopsi anak,
yang kedua karena Keisha masih memiliki orangtua kandung, saat ini mereka sedang
menjalani ikatan dinas di kota lain dan rencananya akan mengambil Keisha
kembali jika masa ikatan dinas telah berakhir. Pedih aku rasakan bahwa
perpisahanlah kenyataan yang harus kuterima.
Tetap
kujalani mutasi ke Jakarta sebab ganjarannya adalah pangkat dan gaji yang lebih
tinggi, tapi jujur saja ini tak mudah meski kami hanya terpisah jarak sekitar
150 km jauhnya. Biasanya kami bisa bertemu setiap hari, sekarang hanya bisa bertemu
saat weekend. Setiap hari Jum’at aku
benar-benar berseru thank God it’s Friday,
tak sabar ingin segera berjumpa Keisha. Inilah keping kenangan ketujuh yang
kukumpulkan, warnanya tetap cerah dan indah tapi tak secerah dan seindah keping
kenangan kelima dan keenam.
Kasih
Tak Sampai
Setahun sudah kami lalui dengan
rentang jarak 150 km serta waktu bertemu hanya di hari Sabtu dan Minggu, so far so good. Beberapa kali kucoba
menjalin silaturahim dengan orangtua kandung Keisha, walau tak mudah sebab
pihak panti asuhan menyembunyikan identitas mereka, tapi aku tetap berusaha
sebab aku berharap tetap bisa menyayangi dan ikut membesarkan Keisha meski
kelak mereka akan mengambilnya kembali. Aku tak hanya jatuh cinta pada sang
malaikat tanpa sayap, lebih dari itu, dia telah menjadi bagian diriku. Dari
bocah mungil itulah aku belajar banyak hal, terutama tentang bersyukur dan
menjalani hidup dengan senyum. Aku tak ingin kehilangan malaikatku.
Hingga suatu hari, setelah 2 minggu
tidak bisa bertemu Keisha karena terhimpit deadline
pekerjaan, aku mendapat kabar dari seorang pengasuh panti asuhan. Kabar itu
bak petir yang menyambar menggelegar di siang bolong, butuh 20 menit untuk memutuskan
tindakan pertama yang harus kuambil serta lebih dari 6 bulan untuk berhenti
melakukan penyangkalan dan menerima kenyataan. Keisha sudah tidak ada lagi di
panti, dia diadopsi oleh seorang kaya raya yang membayar mahal pada pengurus
panti.
Kudatangi panti itu, kuminta
penjelasan dari pengurusnya, selama ini mereka bilang padaku bahwa Keisha tidak
boleh diadopsi karena akan diambil kembali oleh orangtua kandungnya, kucoba
bernegosiasi dengan pengurus panti, tak apalah Keisha diadopsi jika itu yang
terbaik bagi masa depannya tapi aku ingin tetap bisa bertemu dengannya. Apa
yang kudapat?, hanya pertengkaran hebat dengan pengurus panti yang keukeuh tak membagi sekecil apapun
informasi tentang Keisha.
Hatiku sangat sakit hingga luluh
lantak, ada yang tercabut paksa dari jiwaku, rasa hampa menambah perih luka
menganga. Inilah keping kenangan kedelapan yang kukumpulkan, warnanya hitam
kelam, dari sini tercium aroma luka begitu tajam, telapak tanganku tergores
saat keping kenangan ini kugenggam. Keping kenangan yang penuh dengan muram
durja dan pedih kehilangan.
Setahun
Sejak Keisha Menghilang…
Kisahku
dengan Keisha adalah kisah kasih tak sampai, tidak salah jika dikatakan
demikian, tapi bagiku kisah ini adalah kisah cinta luar biasa yang tak semua
orang punya, tak semua dari kita pernah mengalaminya, tak semua hati dan akal
sanggup memahaminya. Maka kuberanikan diri untuk menyusuri lorong waktu,
menjumpai kembali titik-titik suka dan duka, mengumpulkan keping-keping
kenangan yang akan kurangkai menjadi sebuah novel.
Novel tanda cinta pada malaikat
tanpa sayap, dia yang selamanya akan selalu menjadi malaikat mungilku. Novel
ini adalah upayaku menyampaikan kisah kasih yang tak sampai.
IntAnnisa
Diselesaikan di Surabaya, 8
Februari 2015.
*cerpen ini dilombakan pada Proyek Menulis Kasih Tak Sampai nulisbuku.com dan masuk dalam 200 besar dari 1.025 cerpen