Tampilkan postingan dengan label Nek Sairah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nek Sairah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juni 2015

Yang Papa Di Antara Kaya Raya (2)




Masih ingat dengan Kakek dan Nenek ini?.

Sudah lupa atau belum pernah kenal?.

Coba diingat-ingat dulu.

Mereka adalah Kek Anani dan Nek Sairah. Bagi yang belum kenal dan untuk mengingatkan yang sudah lupa, silakan baca ini. Kisah mereka sudah pernah saya tulis.

Tak disangka, ada yang merepost tulisan saya di Kaskus. Ini dia URL-nya. Tak diduga, ada seseorang yang meninggalkan pesan di kolom komentar, dia meninggalkan alamat email. Dari sanalah percakapan kami dimulai.

Seorang dermawan dari Aceh. Kami belum pernah saling mengenal sebelumnya. Dia menitipkan Rp 400.000 dan sekotak baju-baju serta sarung layak pakai, juga memberi selembar selendang warna biru untuk saya, katanya untuk perkenalan dan kenang-kenangan.


Baju-baju dan sarung layak pakai untuk Kek Anani dan Nek Sairah.

Maha Suci Alloh!, dari sisi selatan bentangan Indonesia, dari Tanah Serambi Mekah nun jauh di mata, seorang hambaNya mengirim bantuan untuk sepasang renta yang masih mengais rezeki di tengah belantara ibu kota negara. Alloh S.W.T akan membalas kebaikannya dengan balasan yang berlipat ganda. Aamiin!.




Alhamdulillah, titipan itu sudah saya sampaikan. Tidak berhenti sampai di situ, sekali waktu saya silaturahim ke rumah Kek Anani dan Nek Sairah. Rupanya Kek Anani sakit dan makin parah, sehingga tidak bisa ikut jualan, Nek Sairah pun jadi sering absen berjualan, kalaupun berjualan paling hanya 2 jam, padahal sumber pemasukan mereka hanya dari berjualan papan cucian. Nek Sairah sangat khawatir karena Kek Anani ditinggal sendiri di rumah, beliau dalam kondisi tidak bisa berjalan.

Dari silaturahim inilah, saya baru mengetahui bahwa selain pernah menderita stroke dan gangguan pendengaran, Kek Anani juga menderita katarak. Dari jarak dekat, saat bersalaman dengan Kek Anani, saya melihat jelas ada noda putih di kedua lensa matanya.

Sebuah permintaan yang so sweet terucap pelan dari Kek Anani yang tubuhnya kian lemah. "Saya pengen kursi roda, biar bisa nemenin istri jualan."

Entah bagaimana kabar Kek Anani dan Nek Sairah sekarang ini, saya sudah jarang bertemu dengan mereka lagi. Mungkin Kek Anani masih menunggu kursi roda impiannya, yang pasti Nek Sairah butuh dana dan bimbingan untuk bisa membawa suami tercintanya berobat secara rutin.

Bimbingan?. Ya!, bimbingan. Nek Sairah pernah mencoba membawa Kek Anani ke RS namun ditolak karena tak punya Surat Keterangan Tidak Mampu. Nek Sairah langsung mencoba mengurusnya ke RT dan RW, bukannya dipermudah malah dipersulit, sampai sekarang pun Nek Sairah belum berhasil mengantongi surat itu, padahal KTPnya KTP Jakarta. Pantaslah Nek Sairah bingung dan akhirnya hanya mengandalkan tukang urut untuk mengobati Kek Anani yang stroke.

Fakir Miskin dan Anak-Anak Terlantar adalah Tanggung Jawab Kita

Pasal 34 UUD 1945 :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan pelayan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang.

Aduhai, Kawan!. Alangkah banyaknya urusan negara. Mulai dari pemberantasan korupsi, naik turun harga BBM, kisruh sepak bola, islah partai politik, sampai isu beras plastik. Silakan membayangkan, Kawan!. Kira-kira mengurus fakir miskin dan anak-anak terlantar akan menempati urutan prioritas nomer berapa?.

Daripada menambah banyak tumpukan urusan negara yang sudah selangit, lebih baik kita yang membantu negara, mengulurkan bantuan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Sesuai kemampuan saja, itupun sudah bisa memberi nilai positif sebagai warga negara yang berkontribusi bagi tanah airnya. Ada yang tergerak beraksi?.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf

Rabu, 16 Juli 2014

Yang Papa Di Antara Kaya Raya

Perjalanan menuju ke kantor di pagi hari dan kembali ke rumah di sore hari tak pernah tanpa berjibaku dengan kemacetan. Ribuan kendaraan tumpah ruah ke jalan, orang-orang yang sudah paham situasi ini mencoba berdamai dengan keadaan, meski stress mereka tak tertutupi. Di situasi tertentu, misalnya hujan yang biasanya diikuti dengan genangan air di jalan, kemacetan bisa makin menggila.

Saya menyiasati kemacetan dengan nebeng motor teman setiap pagi, saat pulang di sore atau malam hari barulah naik Transjakarta. Selain menyiasati kemacetan, cara ini cukup ampuh mengusir bosan. Teman saya biasanya menempuh jalur alternatif, bukan jalur yang biasa dilewati Transjakarta, jadi saya bisa melihat pemandangan yang berbeda.

Jalan yang biasa kami lewati adalah Jalan Kartika Utama, Pondok Indah. Deretan rumah mewah lengkap dengan beberapa buah mobil berjajar di garasi dan beberapa orang satpam berjaga. Sambil melintas, kadang saya bergumam, entah butuh berapa banyak PRT untuk mengurus rumah sebesar ini, belum termasuk tukang kebun dan supir. Sering terucap do'a di dalam hati, semoga saya punya uang yang sangat banyak agar kelak bisa membangun rumah 10x lebih besar dan lebih mewah dari rumah-rumah yang setiap pagi saya lintasi ini. Sebab rumah besar yang saya tempati sekarang bukanlah milik saya, tapi milik orangtua, hehehe....

Nek Sairah dan Kek Anani

Ada sebuah pemandangan yang selalu menarik perhatian dan mengusik nurani saya. Pemandangan yang kontras dengan deretan rumah-rumah mewah. Sepasang kakek nenek renta, mendorong gerobak berwarna hijau, menjajakan papan cucian. Entah siapa yang mau membeli papan cucian, rumah-rumah sebesar ini pasti dilengkapi mesin cuci. Sehari, seminggu, sebulan...akhirnya saya benar-benar terusik. Saya turun dari motor, menghampiri dan membuka obrolan dengan mereka.

Sejak saat itu, saya mengenal Kek Anani dan Nek Sairah. Sejak saat itu juga, kalau sedang tidak terburu-buru akibat kesiangan, saya sempatkan turun dari motor untuk menyapa dan memberikan selembar Rp.10.000 untuk keduanya. Dari obrolan super singkat rutin itulah saya mengetahui bahwa mereka perantau dari Pemalang yang gagal mengecap indahnya ibukota, mereka berdua tinggal di bedeng tidak jauh dari tempat gerobak mereka mangkal, sementara anak-anak mereka masih tertinggal di Pemalang dalam hidup yang susah.

Di antara rumah-rumah besar nan mewah, sepasang kakek nenek setiap pagi mengais rejeki dengan berjualan papan cucian. Hidup mereka serba kekurangan.

Kek Anani terserang stroke, sekitar 2 tahun lalu, akibatnya pendengaran dan penglihatannya terganggu. Itulah alasan mengapa Nek Sairah tidak berjualan di pasar. Kek Anani tidak kuat lagi berjalan agak jauh, tidak mungkin ditinggal sendiri di bedeng tanpa ada yang menjaga. Memang setiap hari Nek Sairahlah yang mendorong gerobak, sedangkan Kek Anani berjalan terseok-seok dan terbungkuk-bungkuk mengikuti dari belakang.

Banyak hal yang sudah tidak diingat Nek Sairah, misalnya berapa usia mereka berdua dan kapan tepatnya mereka datang ke Jakarta. Hal yang jelas diingatnya adalah harga papan cucian yang dijajakannya, Rp. 80.000, dan Rp. 5.000 miliknya dari setiap papan cucian yang laku terjual, selebihnya harus disetor kembali ke produsen papan cucian. Meski tak menolak jika diberi uang, tapi Nek Sairah dan Kek Anani enggan menengadahkan tangan, enggan meminta-minta.

Sejak stroke, sekitar 2 tahun yang lalu, Kek Anani mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran. Tubuhnya melemah, tak kuat lagi berjalan jauh. Saat menjajakan papan cucian, sering ia terlihat sempoyongan.

Selama ini, mereka belum pernah terjamah oleh program-program bantuan apapun dari pemerintah yang ditujukan untuk orang miskin. Ketika saya tanya, apa yang paling dibutuhkannya?. Nek Sairah bilang mereka sangat butuh uang untuk pengobatan Kek Anani. Sejak terkena stroke, Kek Anani tak pernah menjalani pengobatan khusus untuk penderita stroke, kalaupun berobat paling hanya ke puskesmas. Dokter menganjurkan Kek Anani makan makanan sehat dan bergizi, minum susu, serta minum obat secara teratur, tapi kenyataan mengharuskan Kek Anani makan seadanya saja tanpa minum susu, apalagi obat.

***

Pernah suatu kali saya foto Kek Anani dan Nek Sairah, lalu fotonya saya posting di Facebook. Seorang teman yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis buku, Mbak Eni namanya, tergerak hatinya untuk membantu. Kebetulan almarhumah ibunda Mbak Eni dulu pernah menderita stroke, itulah yang menggerakkannya merintis Rumah Stroke Indonesia.

Melalui Rumah Stroke Indonesia, kita yang peduli bisa menyalurkan bantuan untuk para penderita stroke di seluruh tanah air. Di bulan Ramadhan ini ada program parcel untuk penderita stroke yang tidak mampu, isinya berupa berbagai kebutuhan penderita stroke, mulai dari pampers dewasa, susu, gula dan kue kering rendah kalori, beras merah, hingga kursi roda. Untuk informasi pengiriman bantuan, silakan hubungi Mbak Eni via enisetiati_penulis@yahoo.co.id.

Semoga curhat ringan saya ini berdampak besar bagi Kek Anani dan Nek Sairah. Terakhir menyapa mereka, sekitar 2 hari yang lalu, mata Nek Sairah sayu menatap sambil berkata bahwa mereka tidak pernah mudik, tidak juga menyantap ketupat dan opor ayam, tidak ada uang, di hari Lebaran pun tetap menjajakan papan cucian.

Kek Anani dan Nek Sairah, menjajakan papan cucian setiap pagi.

- See more at: http://artikelkomputerku.blogspot.com/2010/10/cara-memasang-banner-di-bawah-posting.html#sthash.TrMBEyDs.dpuf